BEBERAPA PRAKTEK BID’AH DALAM TA’ZIYAH DAN PENYERTAANNYA
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 10, 2007
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
[1]. Berta’ziyah di kuburan. [Haasyiyatu Ibni Abidin I/843]
[2]. Berkumpul-kumpul di tempat taziyah (Zaadul Ma’ad I/304). Safar As-Sa’aadah, karya Fairuz Abadi, hal. 57. Juga kitab Ishlaabu Al-Masaajid an-Al-Bida wal Al-Awaa’id, karya Al-Qasimi, hal. 180-181. Dan lihat kembali masalah ke-113
[3]. Membatasi ta’ziyah hanya tiga hari saja. [Rujuk kembali masalah ke-113]
[4]. Membiarkan tempat gelaran lantai di rumah mayit yang disiapkan untuk orang-orang yang datang berta’ziyah. Mereka membiarkan gelaran itu begitu saja sehingga tujuh hari berlalu dan setelah itu disingkirkan. [Al-Madkhal III/279-280]
[5]. Ta’ziyah dengan mengucapkan : “Semoga Allah memperbanyak pahala untukmu, melimpahkan kesabaran kepadamu, juga mengaruniakan rasa syukur kepada kami dan juga dirimu. Sesungguhnya jiwa, harta, keluarga, dan anak-anak kita ini adalah pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyenangkan sekaligus anugrah-Nya yang diamanatkan. Semoga Dia membekalimu dengannya dalam kegembiraan dengan balasan pahala yang banyak, shalawat, rahmat, dan petunjuk. Jika engkau berharap mendapatkannya, maka bersabarlah. Jangan sampai kegelisahanmu membuat pahalamu hilang, sehingga engkau akan menyesal. Dan ketahuilah, bahwa kegelisahan itu tidak akan dapat mengembalikan sesuatu apapun atau menghilangkan kesedihan serta apa yang menimpa” [1]
[6]. Ta’ziyah dengan mengucapkan : “Sesungguhnya di sisi Allah terdapat tempat untuk menghibur dari segala macam musibah, dan pengganti dari semua yang hilang, maka hendaklah kalian benar-benar yakin kepada Allah, dan hanya kepadaNya-lah hendaknya kalian berharap. Sesungguhnya orang-orang yang diharamkan yang terhalangi dari pahala” [2]
[7]. Penyediaan makanan untuk tamu oleh keluarga si mayit. [Kitab, Talbis Iblis, hal.341, Fathu Qadiir 1/473, karya Ibnu Hamam, Al-Madkhal III/275-276 dan Ishlah Al-Masajid, hal. 181 Dan rujuk kembali masalah ke-115]
[8]. Mengundang tamu pada hari pertama, ketujuh dan keempat puluh, dan pada hari genap satu tahun. [Al-Khadimi, dalam Syarh Ath-Thariiq Al-Muhammadiyah, hal.3224, Al-Madkhal II/114, III/278-279]
[9]. Penyediaan makanan oleh pihak keluarga mayit pada hari Kamis pertama
[10]. Memenuhi undangan makan-makan oleh keluarga yang ditinggalkan. [Imam Muhammad Al-Barkawi di dalam kitab Jalaa-u Al-Quluub, hal.77]
[11]. Ucapan mereka : “Tidak ada yang boleh megangkat meja makan selama tiga hari, kecuali orang yang meletakkannya” [Al-Madkhal III/276]
[12]. Membuat makanan zalabiyah (semacam kue dadar) atau membelinya dan membeli aneka makanan untuk disediakan pada hari ke tujuh. [Al-Madkhal III/292]
[13]. Wasiat untuk menyediakan makanan dan menyambut para tamu pada hari kematiannya atau setelahnya, dan dengan memberikan sejumlah uang bagi orang-orang yang membaca Al-Qur’an untuk ruhnya atau bertasbih atau bertahlil untuknya. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/325]
[14]. Berwasiat supaya ada beberapa orang yang bermalam di kuburannya selama empat puluh hari atau lebih atau bisa juga kurang. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/326]
[15]. Mewakafkan beberapa hal, terutama uang untuk bacaan Al-Qur’an Al-Azhim, atau agar dengan uang itu orang-orang mau mengerjakan shalat Sunnah atau bertahlil atau bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian pahalanya dihadiahkan kepada orang yang berwakaf tadi atau ruh orang yang menziarahinya. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/323]
[16]. Sedekah yang dikeluarkan wali mayit untuk si mayit sebelum malam pertama berlalu dengan sesuatu yang bisa disedekahkan. Jika tidak mempunyai apa yang hendak disedekahkan maka cukup baginya mengerjakan shalat dua rakaat yang pada masing-masing rakaat membaca Al-Fatihah, ayat Kursi satu kali dan sura At-Takaatsur sepuluh kali. Setelah selesai, membaca : “Ya Allah, aku kerjakan shalat ini sedang Engkau tahu apa yang aku kehendaki darinya. Ya Allah, kirimkanlah pahalanya ke kuburan fulan, si mayit” [3]
[17]. Bersedekah atas nama mayit dengan makanan yang disukai si mayit.
[18]. Bersedekah atas nama ruh orang-orang yang sudah meninggal pada tiga bulan berikut : Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
[19]. Menggugurkan kewajiban shalat. [Ishlaahu Al-Masaajid, hal. 281-283]
[20]. Bacaan Al-Qur’an yang pahalanya ditujukan kepada orang-orang yang meninggal dunia. [As-Sunan, hal. 63-65. Lihat juga masalah ke-24 dan 121]
[21]. Bertasbih untuk mayit. [As-Sunan, hal 11 dan 65]
[22]. Itaqah (memerdekakan budak) untuk sang mayit. [As-Sunan] [4]
[23]. Membaca Al-Qur’an sekaligus menghatamkannya di kuburan yang ditujukan untuk mayit. [Safaru As-Sa’aadah, hal. 57. Al-Madkhal I/266 dan 267]
[24]. Berangkat pada pagi buta ke kuburan mayit yang mereka makamkan kemarin, disertai kaum kerabat dan kenalan mereka. [Al-Madkhal II/113-114, 2783. Dan Ishlaah Al-Masaajid hal.270-271]
[25]. Menggelar karpet atau yang semisalnya di tanah, bagi orang-orang yang datang pada dini hari atau untuk yang lainnya. [Al-Madkhal III/278]
[26]. Mendirikan kemah (tenda) di atas kuburan. [Al-Madkhal]
[27]. Menginap di kuburan selama empat puluh hari atau kurang atau bisa juga lebih. [Jalaa’u Al-Quluub, hal. 8]
[28]. Memberikan pujian kepada mayit pada malam keempat puluh atau pada saat berlalunya satu tahun, yang dikenal dengan sbutan “ Mengenang Jasa” [Al-Ibdaa, hal. 125]
[29]. Menggali kuburan sebelum kematian datang, sebagai upaya mempersiapkan diri. [Lihat masalah ke-109]
[Disalin dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi Indonesia Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM, Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]
__________
Foote Note
[1]. Keduanya dinilai baik di dalam kitab Syarh Asy-Syir’ah, hal. 562 dan 263 dan lain-lainnya. Yang pertama diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah berta’ziyah kepada Mu’adz bin Jabal atas kematian puternya, tetapi ia merupakan hadits maudhu. Dan yang kedua diriwayatkan tentang ta’ziyah Khidir kepada keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas wafatnya beliau, tetapi hadits ini pun dha’if. Diriwayatkan Asy-Syafi’i di dalam kitab Musnad-nya (1820). Dan dinilai dha’if oleh Ibnu Katsir di dalam kitab Taarikh-nya I/332. dan peringatan terhadap hadits pertama telah diberikan pada pembahasan ke-112.
[2]. Ibid
[3]. Anehnya, di antara kitab yang darinya saya menukil bid’ah ini adalah Syarhu Asy-Syir’ah, hal. 568. Dia menyebutkan : “Yang sunnah dikerjakan adalah hendaklah sang wali mayit bersedekah..” Dan sunnah ini sama sekali tidak mempunyai dasar, yang dimaksudkan mungkin adalah Sunnah (kebiasaan) para syaikh, sebagaimana yang ditafsirkan oleh beberapa orang terhadap pendapat salah seorang pensyarah : Yang termasuk sunnah adalah melafazhkan niat saat akan mengerjakan shalat
[4]. Dia mengatakan, ada hadits berbunyi : “Barangsiapa membaca Qulhuwallahu Ahad seribu kali berarti dia telah membeli diirnya dari Neraka”. Dan hadits ini berstatus maudhu.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
[1]. Berta’ziyah di kuburan. [Haasyiyatu Ibni Abidin I/843]
[2]. Berkumpul-kumpul di tempat taziyah (Zaadul Ma’ad I/304). Safar As-Sa’aadah, karya Fairuz Abadi, hal. 57. Juga kitab Ishlaabu Al-Masaajid an-Al-Bida wal Al-Awaa’id, karya Al-Qasimi, hal. 180-181. Dan lihat kembali masalah ke-113
[3]. Membatasi ta’ziyah hanya tiga hari saja. [Rujuk kembali masalah ke-113]
[4]. Membiarkan tempat gelaran lantai di rumah mayit yang disiapkan untuk orang-orang yang datang berta’ziyah. Mereka membiarkan gelaran itu begitu saja sehingga tujuh hari berlalu dan setelah itu disingkirkan. [Al-Madkhal III/279-280]
[5]. Ta’ziyah dengan mengucapkan : “Semoga Allah memperbanyak pahala untukmu, melimpahkan kesabaran kepadamu, juga mengaruniakan rasa syukur kepada kami dan juga dirimu. Sesungguhnya jiwa, harta, keluarga, dan anak-anak kita ini adalah pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyenangkan sekaligus anugrah-Nya yang diamanatkan. Semoga Dia membekalimu dengannya dalam kegembiraan dengan balasan pahala yang banyak, shalawat, rahmat, dan petunjuk. Jika engkau berharap mendapatkannya, maka bersabarlah. Jangan sampai kegelisahanmu membuat pahalamu hilang, sehingga engkau akan menyesal. Dan ketahuilah, bahwa kegelisahan itu tidak akan dapat mengembalikan sesuatu apapun atau menghilangkan kesedihan serta apa yang menimpa” [1]
[6]. Ta’ziyah dengan mengucapkan : “Sesungguhnya di sisi Allah terdapat tempat untuk menghibur dari segala macam musibah, dan pengganti dari semua yang hilang, maka hendaklah kalian benar-benar yakin kepada Allah, dan hanya kepadaNya-lah hendaknya kalian berharap. Sesungguhnya orang-orang yang diharamkan yang terhalangi dari pahala” [2]
[7]. Penyediaan makanan untuk tamu oleh keluarga si mayit. [Kitab, Talbis Iblis, hal.341, Fathu Qadiir 1/473, karya Ibnu Hamam, Al-Madkhal III/275-276 dan Ishlah Al-Masajid, hal. 181 Dan rujuk kembali masalah ke-115]
[8]. Mengundang tamu pada hari pertama, ketujuh dan keempat puluh, dan pada hari genap satu tahun. [Al-Khadimi, dalam Syarh Ath-Thariiq Al-Muhammadiyah, hal.3224, Al-Madkhal II/114, III/278-279]
[9]. Penyediaan makanan oleh pihak keluarga mayit pada hari Kamis pertama
[10]. Memenuhi undangan makan-makan oleh keluarga yang ditinggalkan. [Imam Muhammad Al-Barkawi di dalam kitab Jalaa-u Al-Quluub, hal.77]
[11]. Ucapan mereka : “Tidak ada yang boleh megangkat meja makan selama tiga hari, kecuali orang yang meletakkannya” [Al-Madkhal III/276]
[12]. Membuat makanan zalabiyah (semacam kue dadar) atau membelinya dan membeli aneka makanan untuk disediakan pada hari ke tujuh. [Al-Madkhal III/292]
[13]. Wasiat untuk menyediakan makanan dan menyambut para tamu pada hari kematiannya atau setelahnya, dan dengan memberikan sejumlah uang bagi orang-orang yang membaca Al-Qur’an untuk ruhnya atau bertasbih atau bertahlil untuknya. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/325]
[14]. Berwasiat supaya ada beberapa orang yang bermalam di kuburannya selama empat puluh hari atau lebih atau bisa juga kurang. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/326]
[15]. Mewakafkan beberapa hal, terutama uang untuk bacaan Al-Qur’an Al-Azhim, atau agar dengan uang itu orang-orang mau mengerjakan shalat Sunnah atau bertahlil atau bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian pahalanya dihadiahkan kepada orang yang berwakaf tadi atau ruh orang yang menziarahinya. [Syarh Ath-Thariiqah Al-Muhammadiyyah IV/323]
[16]. Sedekah yang dikeluarkan wali mayit untuk si mayit sebelum malam pertama berlalu dengan sesuatu yang bisa disedekahkan. Jika tidak mempunyai apa yang hendak disedekahkan maka cukup baginya mengerjakan shalat dua rakaat yang pada masing-masing rakaat membaca Al-Fatihah, ayat Kursi satu kali dan sura At-Takaatsur sepuluh kali. Setelah selesai, membaca : “Ya Allah, aku kerjakan shalat ini sedang Engkau tahu apa yang aku kehendaki darinya. Ya Allah, kirimkanlah pahalanya ke kuburan fulan, si mayit” [3]
[17]. Bersedekah atas nama mayit dengan makanan yang disukai si mayit.
[18]. Bersedekah atas nama ruh orang-orang yang sudah meninggal pada tiga bulan berikut : Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
[19]. Menggugurkan kewajiban shalat. [Ishlaahu Al-Masaajid, hal. 281-283]
[20]. Bacaan Al-Qur’an yang pahalanya ditujukan kepada orang-orang yang meninggal dunia. [As-Sunan, hal. 63-65. Lihat juga masalah ke-24 dan 121]
[21]. Bertasbih untuk mayit. [As-Sunan, hal 11 dan 65]
[22]. Itaqah (memerdekakan budak) untuk sang mayit. [As-Sunan] [4]
[23]. Membaca Al-Qur’an sekaligus menghatamkannya di kuburan yang ditujukan untuk mayit. [Safaru As-Sa’aadah, hal. 57. Al-Madkhal I/266 dan 267]
[24]. Berangkat pada pagi buta ke kuburan mayit yang mereka makamkan kemarin, disertai kaum kerabat dan kenalan mereka. [Al-Madkhal II/113-114, 2783. Dan Ishlaah Al-Masaajid hal.270-271]
[25]. Menggelar karpet atau yang semisalnya di tanah, bagi orang-orang yang datang pada dini hari atau untuk yang lainnya. [Al-Madkhal III/278]
[26]. Mendirikan kemah (tenda) di atas kuburan. [Al-Madkhal]
[27]. Menginap di kuburan selama empat puluh hari atau kurang atau bisa juga lebih. [Jalaa’u Al-Quluub, hal. 8]
[28]. Memberikan pujian kepada mayit pada malam keempat puluh atau pada saat berlalunya satu tahun, yang dikenal dengan sbutan “ Mengenang Jasa” [Al-Ibdaa, hal. 125]
[29]. Menggali kuburan sebelum kematian datang, sebagai upaya mempersiapkan diri. [Lihat masalah ke-109]
[Disalin dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi Indonesia Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM, Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]
__________
Foote Note
[1]. Keduanya dinilai baik di dalam kitab Syarh Asy-Syir’ah, hal. 562 dan 263 dan lain-lainnya. Yang pertama diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah berta’ziyah kepada Mu’adz bin Jabal atas kematian puternya, tetapi ia merupakan hadits maudhu. Dan yang kedua diriwayatkan tentang ta’ziyah Khidir kepada keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas wafatnya beliau, tetapi hadits ini pun dha’if. Diriwayatkan Asy-Syafi’i di dalam kitab Musnad-nya (1820). Dan dinilai dha’if oleh Ibnu Katsir di dalam kitab Taarikh-nya I/332. dan peringatan terhadap hadits pertama telah diberikan pada pembahasan ke-112.
[2]. Ibid
[3]. Anehnya, di antara kitab yang darinya saya menukil bid’ah ini adalah Syarhu Asy-Syir’ah, hal. 568. Dia menyebutkan : “Yang sunnah dikerjakan adalah hendaklah sang wali mayit bersedekah..” Dan sunnah ini sama sekali tidak mempunyai dasar, yang dimaksudkan mungkin adalah Sunnah (kebiasaan) para syaikh, sebagaimana yang ditafsirkan oleh beberapa orang terhadap pendapat salah seorang pensyarah : Yang termasuk sunnah adalah melafazhkan niat saat akan mengerjakan shalat
[4]. Dia mengatakan, ada hadits berbunyi : “Barangsiapa membaca Qulhuwallahu Ahad seribu kali berarti dia telah membeli diirnya dari Neraka”. Dan hadits ini berstatus maudhu.
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
BEBERAPA PRAKTEK BID’AH DALAM PEMAKAMAN DAN PENGIRINGANNYA
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 10, 2007
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
[1]. Menyembelih kerbau sesampainya jenazah di kuburan sebelum pemakamannya dan kemudian membagikannya kepada semua orang yang mengiringinya. [Al-Ibdaa, hal. 114]
[2]. Meletakkan darah hewan yang disembelih saat keluarnya jenazah dari rumah di kuburan
[3]. Mengumandangkan dzikir di sekitar tempat pembaringan mayit sebelum pemakamannya.
[4]. Mengumandangkan adzan saat memasukkan mayit di kuburan. [Haasyiyatu Ibni Abidin I/837]
[5]. Menurunkan mayit ke dalam kuburan dari arah kepala.[Rujuk kembali masalah ke-103]
[6]. Menaruh sedikit tanah Al-Husain ke mayit saat menurunkannya ke dalam kuburan, karena tanah tersebut akan memberi rasa aman dari segala yang menakutkan. [1]
[7]. Meletakkan pasir di bawah mayit bukan karena suatu keperluan yang mendesak. [Al-Madkhal III/261]
[8]. Meletakkan bantal atau yang semisalnya di bawah kepala mayit di dalam kuburnya. [Al-Madkhal III/260]
[9]. Memercikkan air ke mayit di dalam kuburnya. [Al-Madkhal III/262 dan II/222]
[10]. Menaburkan tanah denan punggung telapak tangan seraya mengucapkan : Inna Lillahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. [2]
[11]. Membaca ayat : “Minhaa khalaqnaakum” pada taburan pertama, lalu ayat : “Wa fiihaa Nu’iidukum” pada taburan kedua, dan ayat : “Wa minhaa Nukhrijukum taaratan ukhra” pada taburan ketiga. [Rujuk kembali masalah ke-105]
[12]. Ucapan pada taburan pertama : “Bismillah”, pada taburan kedua : “Al-Mulku lillahi”, pada taburan ketiga : “Al-Qudratu lillahi”, pada taburan keempat : “Al-izzatu lillahi”, pada taburan kelima : “Al-Afwu wa al-Ghufraanu lillahi, pada taburan keenam : “Ar-Rahmatu lillah”, dan kemudian pada taburan ketujuh membaca firman Allah Ta’ala : “ Kullu man ‘alaihaa faan”, dan membaca pada firmanNya :”Minhaa khalanaakum”.
[13]. Membaca tujuh surat, yaitu : Al-Faatihah, Al-Falaq, An-Naas, Al-Ikhlaas, (Idzaa jaa’a nashrullaahi) juga (ulyaa ayyuhal kaafiruun), serta (Innaa anzalnaahu). Dan juga do’a berikut ini : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan menyebut nama-Mu yang agung, aku juga memohon kepada-Mu yang merupakan pilar penegak agama, dan aku memohon kepada-Mu.. Juga memohon kepada-Mu… Serta memohon kepada-Mu…Dan aku memohon kepada-Mu dengan menyebut nama-Mu, yang jika Engkau diminta dengannya, niscaya Engkau pasti akan memberikan, dan jika dipanjatkan do’a kepada-Mu dengan menyebutnya, pasti Engkau akan mengabulkannya, wahai Rabb Jibril, Mika’il, Israfil, dan Uzra’il… sampai akhir : Semuanya ini dibaca saat pemakaman jenazah. [3]
[14]. Membaca Al-Fatihah di kepala mayit dan juga pembukaan surat Al-Baqarah di bagian kedua kakinya. [4]
[15]. Membaca Al-Qur’an pada saat menaburkan tanah ke mayit. [Al-Madkhal III/262-263]
[16]. Mentalqin orang yang sudah meninggal dunia. [As-Sunnan, hal.67 Subulus Salaam karya Ash-Shan’ani. Dan lihat juga masalah ke 106]
[17]. Memasang dua buah batu di atas kuburan wanita.[Nailul Authaar IV/73 karya Asy-Syaukani]
[18]. Membaca sya’ir duka cita di kuburan setelah selesai pemakaman. [Al-Ibdaa, hal. 124-125]
[19]. Memindahkan mayit sebelum atau sesudah pemakaman ke tempat-tempat yang dinilai mulia. [5]
[20]. Berdiam di sisi mayit seusai pemakamannya, baik di rumah, atau di pekuburan, atau di dekatnya. [Al-Madkhal III/278]
[21]. Penolakan mereka untuk memasuki rumah jika kembali dari pemakaman sehingga menyuci bagian-bagian yang bersentuhan dengan mayit. {Al-Madkhal III/276]
[22]. Meletakkan makanan dan minuman di atas kuburan supaya orang-orang mengambilnya.
[23]. Bersedekah di kuburan. [Al-Iqtidhaa Ash-Shiraath, hal. 183 dan Kasyfu Al-Qinaa II/134]
[24]. Menyiramkan air di atas kuburan di bagian kepalanya, dilanjutkan dengan mengitari kuburan, setelah itu air yang masih tersisa di siramkan kembali ke bagian tengah kuburan. [6]
[Disalin dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi Indonesia Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM, Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]
__________
Foote Note
[1]. Demikianlah yang diklaim di dalam kitabMiftaah Al-Karaamah I/497]
[2]. Ini adalah madzhab Imamiyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftah Al-Karaamah I/499. Seakan-akan mereka melakukan hal seperti itu dalam rangka menyalahi apa yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah yang menaburkan tanah, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menaburkan tanah dengan kedua telapak tangan (bukan punggungnya). Silakan rujuk kembali masalah ke-103
[3]. Hal tersebut dan juga yang sebelumnya dianjurkan dibaca, seperti di dalam kitab Syarhu Asy-Syir’ah, hal. 568. Dan diantara yang menunjukkan pembuatan hal tersebut adalah bahwa di dalamnya disebutkan nama Uzra’il, dan hal itu tidak mempunyai dasar sama sekali di dalam Sunnah, sebagaimana yang telah diperingatkan sebelumnya.
[4]. Hal tersebut diriwayatkan dalam hadits yang bersumber dari Ibnu Umar secara marfu, tetapi dinilai dha’if oleh Al-Haitsami III/45. Dan diriwayatkan puladarinya secara mauquf dengan status dhaif, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pada masalah k-122
[5]. Ini merupakan madzhab Imamiyyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftaahu Al-Karaamah I/507 dan 500
[6]. Ibid copyleft almanhaj.or.id
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
[1]. Menyembelih kerbau sesampainya jenazah di kuburan sebelum pemakamannya dan kemudian membagikannya kepada semua orang yang mengiringinya. [Al-Ibdaa, hal. 114]
[2]. Meletakkan darah hewan yang disembelih saat keluarnya jenazah dari rumah di kuburan
[3]. Mengumandangkan dzikir di sekitar tempat pembaringan mayit sebelum pemakamannya.
[4]. Mengumandangkan adzan saat memasukkan mayit di kuburan. [Haasyiyatu Ibni Abidin I/837]
[5]. Menurunkan mayit ke dalam kuburan dari arah kepala.[Rujuk kembali masalah ke-103]
[6]. Menaruh sedikit tanah Al-Husain ke mayit saat menurunkannya ke dalam kuburan, karena tanah tersebut akan memberi rasa aman dari segala yang menakutkan. [1]
[7]. Meletakkan pasir di bawah mayit bukan karena suatu keperluan yang mendesak. [Al-Madkhal III/261]
[8]. Meletakkan bantal atau yang semisalnya di bawah kepala mayit di dalam kuburnya. [Al-Madkhal III/260]
[9]. Memercikkan air ke mayit di dalam kuburnya. [Al-Madkhal III/262 dan II/222]
[10]. Menaburkan tanah denan punggung telapak tangan seraya mengucapkan : Inna Lillahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. [2]
[11]. Membaca ayat : “Minhaa khalaqnaakum” pada taburan pertama, lalu ayat : “Wa fiihaa Nu’iidukum” pada taburan kedua, dan ayat : “Wa minhaa Nukhrijukum taaratan ukhra” pada taburan ketiga. [Rujuk kembali masalah ke-105]
[12]. Ucapan pada taburan pertama : “Bismillah”, pada taburan kedua : “Al-Mulku lillahi”, pada taburan ketiga : “Al-Qudratu lillahi”, pada taburan keempat : “Al-izzatu lillahi”, pada taburan kelima : “Al-Afwu wa al-Ghufraanu lillahi, pada taburan keenam : “Ar-Rahmatu lillah”, dan kemudian pada taburan ketujuh membaca firman Allah Ta’ala : “ Kullu man ‘alaihaa faan”, dan membaca pada firmanNya :”Minhaa khalanaakum”.
[13]. Membaca tujuh surat, yaitu : Al-Faatihah, Al-Falaq, An-Naas, Al-Ikhlaas, (Idzaa jaa’a nashrullaahi) juga (ulyaa ayyuhal kaafiruun), serta (Innaa anzalnaahu). Dan juga do’a berikut ini : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan menyebut nama-Mu yang agung, aku juga memohon kepada-Mu yang merupakan pilar penegak agama, dan aku memohon kepada-Mu.. Juga memohon kepada-Mu… Serta memohon kepada-Mu…Dan aku memohon kepada-Mu dengan menyebut nama-Mu, yang jika Engkau diminta dengannya, niscaya Engkau pasti akan memberikan, dan jika dipanjatkan do’a kepada-Mu dengan menyebutnya, pasti Engkau akan mengabulkannya, wahai Rabb Jibril, Mika’il, Israfil, dan Uzra’il… sampai akhir : Semuanya ini dibaca saat pemakaman jenazah. [3]
[14]. Membaca Al-Fatihah di kepala mayit dan juga pembukaan surat Al-Baqarah di bagian kedua kakinya. [4]
[15]. Membaca Al-Qur’an pada saat menaburkan tanah ke mayit. [Al-Madkhal III/262-263]
[16]. Mentalqin orang yang sudah meninggal dunia. [As-Sunnan, hal.67 Subulus Salaam karya Ash-Shan’ani. Dan lihat juga masalah ke 106]
[17]. Memasang dua buah batu di atas kuburan wanita.[Nailul Authaar IV/73 karya Asy-Syaukani]
[18]. Membaca sya’ir duka cita di kuburan setelah selesai pemakaman. [Al-Ibdaa, hal. 124-125]
[19]. Memindahkan mayit sebelum atau sesudah pemakaman ke tempat-tempat yang dinilai mulia. [5]
[20]. Berdiam di sisi mayit seusai pemakamannya, baik di rumah, atau di pekuburan, atau di dekatnya. [Al-Madkhal III/278]
[21]. Penolakan mereka untuk memasuki rumah jika kembali dari pemakaman sehingga menyuci bagian-bagian yang bersentuhan dengan mayit. {Al-Madkhal III/276]
[22]. Meletakkan makanan dan minuman di atas kuburan supaya orang-orang mengambilnya.
[23]. Bersedekah di kuburan. [Al-Iqtidhaa Ash-Shiraath, hal. 183 dan Kasyfu Al-Qinaa II/134]
[24]. Menyiramkan air di atas kuburan di bagian kepalanya, dilanjutkan dengan mengitari kuburan, setelah itu air yang masih tersisa di siramkan kembali ke bagian tengah kuburan. [6]
[Disalin dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi Indonesia Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM, Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]
__________
Foote Note
[1]. Demikianlah yang diklaim di dalam kitabMiftaah Al-Karaamah I/497]
[2]. Ini adalah madzhab Imamiyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftah Al-Karaamah I/499. Seakan-akan mereka melakukan hal seperti itu dalam rangka menyalahi apa yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah yang menaburkan tanah, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menaburkan tanah dengan kedua telapak tangan (bukan punggungnya). Silakan rujuk kembali masalah ke-103
[3]. Hal tersebut dan juga yang sebelumnya dianjurkan dibaca, seperti di dalam kitab Syarhu Asy-Syir’ah, hal. 568. Dan diantara yang menunjukkan pembuatan hal tersebut adalah bahwa di dalamnya disebutkan nama Uzra’il, dan hal itu tidak mempunyai dasar sama sekali di dalam Sunnah, sebagaimana yang telah diperingatkan sebelumnya.
[4]. Hal tersebut diriwayatkan dalam hadits yang bersumber dari Ibnu Umar secara marfu, tetapi dinilai dha’if oleh Al-Haitsami III/45. Dan diriwayatkan puladarinya secara mauquf dengan status dhaif, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pada masalah k-122
[5]. Ini merupakan madzhab Imamiyyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftaahu Al-Karaamah I/507 dan 500
[6]. Ibid copyleft almanhaj.or.id
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
HUKUM UPACARA PERINGATAN MALAM NISFI SYA’BAN
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 5, 2007
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.
Amma ba’du:
Sesungguhnya Allah telah berfirman:
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama
bagimu.” [Al-Maidah :3]
“Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih.” [Asy-Syura' : 21]
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”
Dalam lafazh Muslim: “Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak.”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum’at: Amma ba’du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat.”
Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid’ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama’ mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.
Di antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu’.
Dalam hal ini, banyak di antara para ‘ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.
Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama’ telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid’ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’:
“Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa': 59]
“Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” [Asy-Syuraa: 10]
“Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” [An-Nisaa' : 65]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur’an dan Hadits).
Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.
Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif”, “Para Tabi’in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma’daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya’ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.
Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha’ dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha’ Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah. Adapun pendapat ulama’ ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:
[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: “Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid’ah.” Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.
[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo’a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza’iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya’ban ini,tidak diketahui.”
Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi’in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi’in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar’iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”
Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, “Al-Hawadits wal Bida”, “Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah.
Al-’Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu’ah, sebagai berikut: Hadits:
“Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya… dan seterusnya.”
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu’ dan perawi-perawinya majhul.
Dalam kitab “Al Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya’ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu ‘anhu: Jika datang malam Nisfu Sya’ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali’ diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu’ tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu’. Dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudhu’ (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).
Para fuqaha’ banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya’ Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu’.
Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi’ (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.
Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya’ban maudhu’ dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu’, Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka’at dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban. Dua shalat itu adalah bid’ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya’ Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.
Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat radhiallahu ‘anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur’an di bawah:
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu.”[Al-Maidah : 3]
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda: “Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu.” [Hadits Riwayat. Muslim]
Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah yang shahih.
Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi
wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
“Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat.” [Muttafaqun 'alaih]
Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra’ Mi’raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya,
karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.
Dari pendapat-pendapat ulama’ tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid’ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.
Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama’ yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi’raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;
“Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid’ah-bid’ah.”
Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.
Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.
[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.
Amma ba’du:
Sesungguhnya Allah telah berfirman:
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama
bagimu.” [Al-Maidah :3]
“Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih.” [Asy-Syura' : 21]
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”
Dalam lafazh Muslim: “Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak.”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum’at: Amma ba’du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat.”
Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid’ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama’ mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.
Di antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu’.
Dalam hal ini, banyak di antara para ‘ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.
Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama’ telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid’ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’:
“Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa': 59]
“Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” [Asy-Syuraa: 10]
“Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” [An-Nisaa' : 65]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur’an dan Hadits).
Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.
Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif”, “Para Tabi’in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma’daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya’ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.
Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha’ dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha’ Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah. Adapun pendapat ulama’ ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:
[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: “Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid’ah.” Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.
[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo’a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza’iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya’ban ini,tidak diketahui.”
Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi’in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi’in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar’iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”
Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, “Al-Hawadits wal Bida”, “Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah.
Al-’Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu’ah, sebagai berikut: Hadits:
“Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya… dan seterusnya.”
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu’ dan perawi-perawinya majhul.
Dalam kitab “Al Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya’ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu ‘anhu: Jika datang malam Nisfu Sya’ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali’ diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu’ tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu’. Dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudhu’ (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).
Para fuqaha’ banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya’ Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu’.
Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi’ (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.
Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya’ban maudhu’ dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu’, Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka’at dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban. Dua shalat itu adalah bid’ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya’ Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.
Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat radhiallahu ‘anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur’an di bawah:
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu.”[Al-Maidah : 3]
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda: “Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu.” [Hadits Riwayat. Muslim]
Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah yang shahih.
Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi
wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
“Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat.” [Muttafaqun 'alaih]
Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra’ Mi’raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya,
karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.
Dari pendapat-pendapat ulama’ tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid’ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.
Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama’ yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi’raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;
“Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid’ah-bid’ah.”
Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.
Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.
[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
HUKUM MERAYAKAN MALAM ISRA’ MI’RAJ
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 5, 2007
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du,
Tidak diragukan lagi bahwa isra’ mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keagungan kedudukan beliau di sisiNya, juga menujukkan kekuasaan Allah yang Mahaagung dan ketinggianNya di atas semua makhlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” [Al-Isra’: 1]
Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutawatir, bahwa beliau naik ke langit, lalu dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga mencapai langit yang ketujuh, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepadanya dan mewajibkan shalat yang lima waktu kepadanya. Pertama-tama Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkannya lima puluh kali shalat, namun Nabi kita tidak langsung turun ke bumi, tapi beliau kembali kepadaNya dan minta diringankan, sampai akhirnya hanya lima kali saja tapi pahalanya sama dengan lima puluh kali, karena suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Fuji dan syukur bagi Allah atas semua nik’matNya.
Tentang kepastian terjadinya malam isra mi’raj ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits shahih, tidak ada yang menyebutkan bahwa itu pada bulan Rajab dan tidak pula pada bulan lainnya. Semua yang memastikannya tidak benar berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian menurut para ahli ilmu. Allah mempunyai hikmah tertentu dengan menjadikan manusia lupa akan kepastian tanggal kejadiannya. Kendatipun kepastiannya diketahui, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan suatu ibadah dan tidak boleh merayakannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya dan tidak pernah mengkhususkannya. Jika perayaannya disyari’atkan, tentu Rasulullah telah menerangkannya kepada umat ini, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Dan jika itu syari’atkan, tenu sudah diketahui dan dikenal serta dinukilkan dari para sahabat beliau kepada kita, karena mereka senantiasa menyampaikan segala sesuatu dari Nabi mereka yang dibutuhkan umat ini, bahkan merekalah orang-orang yang lebih dulu melaksanakan setiap kebaikan jika perayaan malam tersebut disyari’’atkan, tentulah merekalah manusia pertama yang melakukannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling loyal terhadap sesama manusia, beliau telah menyampaikan risalah dengan sangat jelas dan telah menunaikan anamat dengan sempurna. Seandainya memuliakan malam tersebut dan merayakannya termasuk agama Allah, tentulah nabi tidak melengahkanya tidak menyembunyikan. Namun karena kenyataannya tidak demikian, maka diketahui bahwa merayakannya dan memuliakannya sama sekali bukan termasuk ajaran Islam, dan tanpa itu Allah telah menyatakan bahwa dia telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya dan telah menyempurnakan nimatnya serta mengingkari orang yang mensyariatkan sesuatu dalam agama ini yang tidak diizinkannya. Allah telah berfirman.
“Artinya : Pada Hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat Ku” [Al-Ma’idah :3 ].
Kemudian dalam ayat lain disebutkan.
“Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah sekiranya ada ketetapan yang menentukan (dariAllah) tentulah mereka telah binasa. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih .†[Asy-Syura : 21]
Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits shahih peringatan terhadap bid’ah dan menjelaskan bahwa bid’ah-bid’ah itu sesat. Hal ini sebagai peringatan bagi umatnya tentang bahayanya yang besar dan agar mereka menjahukan diri dari melakukannya, diantaranya adalah yang disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.”.
Dalam riwayat Musliim disebutkan.
“Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” [1]
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir, ia mengatakan, bahwa dalam salah satu khutbah Jum’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.
“Artinya : Amma ba ‘du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.” [2]
An-Nasa’i menambahkan pada riwayat ini dengan ungkapan.
“Artinya : Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka.” [3]
Dalam As-Sunan disebutkan, dari Irbadh bin Sariyah , ia berkata, “Rasulullah mengimami kami shalat Shubuh, kemudian beliau berbalik menghadap kami, lalu beliau menasehati kami dengan nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata menetes dan hati bergetar. Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, tampaknya ini seperti nasehat perpisahan, maka berwasiatlah kepada kami. Beliau pun bersabda.
“Artinya : Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, ta’at dan patuh, walaupun yang memimpin adalah seorang budak hitam. Sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup setelah aku tiada, akan melihat banyak perselisihan, maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perakara yang baru, karena setiap perkara baru itu adalah bid ‘ah dan setiap bid’ah itu sesat’.”[4]
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini.
Telah disebutkan pula riwayat dari para sahabat beliau dan para salaf shalih setelah mereka, tentang peringatan terhadap bid’ah. Semua ini karena bid’ah itu merupakan penambahan dalam agama dan syari’at yang tidak diizinkan Allah serta merupakan tasyabbuh dengan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani dalam penambahan ritual mereka dan bid’ah mereka yang tidak diizinkan Allah, dan karena melaksanakannya merupakan pengurangan terhadap agama Islam serta tuduhan akan ketidaksempurnaannya. Tentunya dalam hal ini terkandung kerusakan yang besar, kemungkaran yang keji dan bantahan terhadap firman Allah SUbhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” [Al-Ma'idah: 3]
Serta penentangan yang nyata terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan perbuatan bid’ah dan peringatan untuk menjauhinya.
Mudah-mudahan dalil-dalil yang kami kemukakan tadi sudah cukup dan memuaskan bagi setiap pencari kebenaran untuk mengingkari bid’ah ini, yakni bid’ah perayaan malam isra’ mi’raj, dan mewaspadainya, bahwa perayaan ini sama sekali tidak termasuk ajaran agama Islam. Kemudian dari itu, karena Allah telah mewajibkan untuk loyal terhadap kaum muslimin, menerangkan apa-apa yang disyari’atkan Allah kepada mereka dalam agama ini serta larangan menyembunyikan ilmu, maka saya merasa perlu untuk memperingatkan saudara-saudara saya kaum muslimin terhadap bid’ah ini yang sudah menyebar ke berbagai pelosok, sampai-sampai dikira oleh sebagian orang bahwa perayaan ini termasuk agama. Hanya Allah-lah tempat meminta, semoga Allah memperbaiki kondisi semua kaum muslimin dan menganugerahi mereka pemahaman dalam masalah agama. Dan semoga Allah menunjuki kita dan mereka semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan konsisten padanya serta meninggalkan segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas itu. Shalawat, salam dan berkah semoga dilimpahkan kepada hamba dan utusanNya, Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[At-Tahdzir minal Bida’, hal.16-20, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[3]. HR. An-Nasa’I dalam Al-Idain (1578).
[4]. HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majjah dalam Al-Muqaddimah (42).
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du,
Tidak diragukan lagi bahwa isra’ mi’raj termasuk tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kebenaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keagungan kedudukan beliau di sisiNya, juga menujukkan kekuasaan Allah yang Mahaagung dan ketinggianNya di atas semua makhlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. ” [Al-Isra’: 1]
Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutawatir, bahwa beliau naik ke langit, lalu dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga mencapai langit yang ketujuh, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepadanya dan mewajibkan shalat yang lima waktu kepadanya. Pertama-tama Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkannya lima puluh kali shalat, namun Nabi kita tidak langsung turun ke bumi, tapi beliau kembali kepadaNya dan minta diringankan, sampai akhirnya hanya lima kali saja tapi pahalanya sama dengan lima puluh kali, karena suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Fuji dan syukur bagi Allah atas semua nik’matNya.
Tentang kepastian terjadinya malam isra mi’raj ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits shahih, tidak ada yang menyebutkan bahwa itu pada bulan Rajab dan tidak pula pada bulan lainnya. Semua yang memastikannya tidak benar berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian menurut para ahli ilmu. Allah mempunyai hikmah tertentu dengan menjadikan manusia lupa akan kepastian tanggal kejadiannya. Kendatipun kepastiannya diketahui, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan suatu ibadah dan tidak boleh merayakannya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah merayakannya dan tidak pernah mengkhususkannya. Jika perayaannya disyari’atkan, tentu Rasulullah telah menerangkannya kepada umat ini, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Dan jika itu syari’atkan, tenu sudah diketahui dan dikenal serta dinukilkan dari para sahabat beliau kepada kita, karena mereka senantiasa menyampaikan segala sesuatu dari Nabi mereka yang dibutuhkan umat ini, bahkan merekalah orang-orang yang lebih dulu melaksanakan setiap kebaikan jika perayaan malam tersebut disyari’’atkan, tentulah merekalah manusia pertama yang melakukannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling loyal terhadap sesama manusia, beliau telah menyampaikan risalah dengan sangat jelas dan telah menunaikan anamat dengan sempurna. Seandainya memuliakan malam tersebut dan merayakannya termasuk agama Allah, tentulah nabi tidak melengahkanya tidak menyembunyikan. Namun karena kenyataannya tidak demikian, maka diketahui bahwa merayakannya dan memuliakannya sama sekali bukan termasuk ajaran Islam, dan tanpa itu Allah telah menyatakan bahwa dia telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya dan telah menyempurnakan nimatnya serta mengingkari orang yang mensyariatkan sesuatu dalam agama ini yang tidak diizinkannya. Allah telah berfirman.
“Artinya : Pada Hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat Ku” [Al-Ma’idah :3 ].
Kemudian dalam ayat lain disebutkan.
“Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah sekiranya ada ketetapan yang menentukan (dariAllah) tentulah mereka telah binasa. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih .†[Asy-Syura : 21]
Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits shahih peringatan terhadap bid’ah dan menjelaskan bahwa bid’ah-bid’ah itu sesat. Hal ini sebagai peringatan bagi umatnya tentang bahayanya yang besar dan agar mereka menjahukan diri dari melakukannya, diantaranya adalah yang disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.”.
Dalam riwayat Musliim disebutkan.
“Artinya : Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” [1]
Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir, ia mengatakan, bahwa dalam salah satu khutbah Jum’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.
“Artinya : Amma ba ‘du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.” [2]
An-Nasa’i menambahkan pada riwayat ini dengan ungkapan.
“Artinya : Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka.” [3]
Dalam As-Sunan disebutkan, dari Irbadh bin Sariyah , ia berkata, “Rasulullah mengimami kami shalat Shubuh, kemudian beliau berbalik menghadap kami, lalu beliau menasehati kami dengan nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata menetes dan hati bergetar. Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, tampaknya ini seperti nasehat perpisahan, maka berwasiatlah kepada kami. Beliau pun bersabda.
“Artinya : Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, ta’at dan patuh, walaupun yang memimpin adalah seorang budak hitam. Sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup setelah aku tiada, akan melihat banyak perselisihan, maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perakara yang baru, karena setiap perkara baru itu adalah bid ‘ah dan setiap bid’ah itu sesat’.”[4]
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini.
Telah disebutkan pula riwayat dari para sahabat beliau dan para salaf shalih setelah mereka, tentang peringatan terhadap bid’ah. Semua ini karena bid’ah itu merupakan penambahan dalam agama dan syari’at yang tidak diizinkan Allah serta merupakan tasyabbuh dengan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani dalam penambahan ritual mereka dan bid’ah mereka yang tidak diizinkan Allah, dan karena melaksanakannya merupakan pengurangan terhadap agama Islam serta tuduhan akan ketidaksempurnaannya. Tentunya dalam hal ini terkandung kerusakan yang besar, kemungkaran yang keji dan bantahan terhadap firman Allah SUbhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” [Al-Ma'idah: 3]
Serta penentangan yang nyata terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan perbuatan bid’ah dan peringatan untuk menjauhinya.
Mudah-mudahan dalil-dalil yang kami kemukakan tadi sudah cukup dan memuaskan bagi setiap pencari kebenaran untuk mengingkari bid’ah ini, yakni bid’ah perayaan malam isra’ mi’raj, dan mewaspadainya, bahwa perayaan ini sama sekali tidak termasuk ajaran agama Islam. Kemudian dari itu, karena Allah telah mewajibkan untuk loyal terhadap kaum muslimin, menerangkan apa-apa yang disyari’atkan Allah kepada mereka dalam agama ini serta larangan menyembunyikan ilmu, maka saya merasa perlu untuk memperingatkan saudara-saudara saya kaum muslimin terhadap bid’ah ini yang sudah menyebar ke berbagai pelosok, sampai-sampai dikira oleh sebagian orang bahwa perayaan ini termasuk agama. Hanya Allah-lah tempat meminta, semoga Allah memperbaiki kondisi semua kaum muslimin dan menganugerahi mereka pemahaman dalam masalah agama. Dan semoga Allah menunjuki kita dan mereka semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan konsisten padanya serta meninggalkan segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas itu. Shalawat, salam dan berkah semoga dilimpahkan kepada hamba dan utusanNya, Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[At-Tahdzir minal Bida’, hal.16-20, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR. Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[2]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[3]. HR. An-Nasa’I dalam Al-Idain (1578).
[4]. HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majjah dalam Al-Muqaddimah (42).
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
PAHALA BACAAN AL-QUR’AN TIDAK AKAN SAMPAI KEPADA SI MAYY
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 5, 2007
Al-Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:
“Artinya : Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [An-Najm: 53]
Beliau t berkata:
Ãóíú: ßóãóÇ áÇó íõÍúãóáõ Úóáóíúåö æöÒúÑõ ÛóíúÑöåö¡ ßóÐóáößó áÇó íóÍúÕõáõ ãöäó ÇúáÃóÌúÑö ÅöáÇøó ãóÇßóÓóÈó åõæó áöäóÝúÓöåö. æóãöäú åóÐöåö ÇúáÂíóÉö ÇáßóÑöíúãóÉö ÇÓúÊóäúÈóØó ÇáÔøóÇÝöÚöíøõ ÑóÍöãóåõ Çááøóåõ æóãóäö ÇÊøóÈóÚóåõ Ãóäøó ÇáúÞöÑóÇÁóÉó áÇó íóÕöáõ ÅöåúÏóÇÁõ ËóæóÇÈöåóÇ Åöáóì ÇáúãóæúÊóì. öáÃóäøóåõ áóíúÓó ãöäú Úóãóáöåöãú æóßóÓúÈöåöãú æóáöåóÐóÇ áóãú íóäúÏõÈú Åöáóíúåö ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÃõãøóÊóåõ¡ æóáÇó ÍóËøóåõãú Úóáóíúåö æóáÇó ÃóÑúÔóÏóåõãú Åöáóíúåö ÈöäóÕòø æóáÇó ÅöíúãóÇÁò¡ æóáóãú íõäúÞóáú Ðóáößó Úóäú ÃóÍóÏò ãöäó ÇáÕøóÍóÇÈóÉö ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõãú¡ æóáóæú ßóÇäó ÎóíúÑðÇ áóÓóÈóÞõæúäóÇ Åöáóíúåö. æóÈóÇÈõ ÇáúÞõÑóÈóÇÊö íõÞúÊóÕóÑõ Ýöíúåö Úóáóì ÇáäøõÕõæúÕö¡ æóáÇó íõÊóÕóÑøóÝõ Ýöíúåö ÈöÃóäúæóÇÚö ÇúáÃóÞúíöÓóÉö æóÇúáÃóÑóÇÁö.
“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.
Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabatpun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”
Periksa: Tafsir Ibni Katsir (VI/33), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.
Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).
Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.
Allah berfirman tentang al-Qur’-an:
“Artinya : Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]
Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]
Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan melakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, bernadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
áóÚóäó Çááøóåõ ÇáúíóåõæúÏó æóÇáäøóÕóÇÑóì ÇÊøóÎóÐõæúÇ ÞõÈõæúÑó ÃóäúÈöíóÇÆöåöãú ãóÓóÇÌöÏó.
“Artinya : Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena) mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
áÇó ÊõÔóÏøõ ÇáÑöøÍóÇáõ ÅöáÇøó Åöáóì ËóáÇóËóÉö ãóÓóÇÌöÏó: ãóÓúÌöÏöíú åóÐóÇ¡ æóÇáúãóÓúÌöÏö ÇáúÍóÑóÇãö¡ æóÇáúãóÓúÌöÏö ÇúáÃóÞúÕóì.
“Artinya : Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”
Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallaahu a’lam bish shawab.
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
MARAJI’
[1]. Al-Qur’anul Karim, serta terjemahannya.
[2]. Tafsir Ibni Katsir, cet. Daarus Salam, th. 1413 H.
[3]. Shahih al-Bukhary.
[4]. Shahih Muslim.
[5]. Sunan Abi Dawud.
[6]. Sunan an-Nasaa-i.
[7]. Sunan Ibni Majah.
[8]. Musnad Imam Ahmad.
[9]. Sunanul Kubra’, oleh al-Baihaqy.
[10]. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim.
[11]. Syu’abul Iman, oleh Imam al-Baihaqy.
[12]. Dha’if Jami’ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[13]. Misykatul Mashabih, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[14]. Al-Kamil fii Dhu’afaa-ir Rijal, oleh Imam Ibnu ‘Ady.
[15]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
[16]. Lisanul Mizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[17]. Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.
[18]. Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[19]. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid, oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.
“Artinya : Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya.” [An-Najm: 53]
Beliau t berkata:
Ãóíú: ßóãóÇ áÇó íõÍúãóáõ Úóáóíúåö æöÒúÑõ ÛóíúÑöåö¡ ßóÐóáößó áÇó íóÍúÕõáõ ãöäó ÇúáÃóÌúÑö ÅöáÇøó ãóÇßóÓóÈó åõæó áöäóÝúÓöåö. æóãöäú åóÐöåö ÇúáÂíóÉö ÇáßóÑöíúãóÉö ÇÓúÊóäúÈóØó ÇáÔøóÇÝöÚöíøõ ÑóÍöãóåõ Çááøóåõ æóãóäö ÇÊøóÈóÚóåõ Ãóäøó ÇáúÞöÑóÇÁóÉó áÇó íóÕöáõ ÅöåúÏóÇÁõ ËóæóÇÈöåóÇ Åöáóì ÇáúãóæúÊóì. öáÃóäøóåõ áóíúÓó ãöäú Úóãóáöåöãú æóßóÓúÈöåöãú æóáöåóÐóÇ áóãú íóäúÏõÈú Åöáóíúåö ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÃõãøóÊóåõ¡ æóáÇó ÍóËøóåõãú Úóáóíúåö æóáÇó ÃóÑúÔóÏóåõãú Åöáóíúåö ÈöäóÕòø æóáÇó ÅöíúãóÇÁò¡ æóáóãú íõäúÞóáú Ðóáößó Úóäú ÃóÍóÏò ãöäó ÇáÕøóÍóÇÈóÉö ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõãú¡ æóáóæú ßóÇäó ÎóíúÑðÇ áóÓóÈóÞõæúäóÇ Åöáóíúåö. æóÈóÇÈõ ÇáúÞõÑóÈóÇÊö íõÞúÊóÕóÑõ Ýöíúåö Úóáóì ÇáäøõÕõæúÕö¡ æóáÇó íõÊóÕóÑøóÝõ Ýöíúåö ÈöÃóäúæóÇÚö ÇúáÃóÞúíöÓóÉö æóÇúáÃóÑóÇÁö.
“Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseo-rang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikuti beliau ber-istinbat (mengambil dalil) bahwasanya pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka.
Tentang (mengirimkan pahala bacaan kepada mayyit) tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-nyunnahkan ummatnya, tidak pernah mengajarkan ke-pada mereka dengan satu nash yang sah dan tidak pula ada seorang Shahabatpun yang melakukan demikian. Seandainya masalah membaca al-Qur-an di pemakaman dan menghadiahkan pahala bacaannya baik, semestinya merekalah yang lebih dulu mengerjakan perbuatan yang baik itu. Tentang bab amal-amal Qurbah (amal ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah) hanya diboleh-kan berdasarkan nash (dalil/contoh) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh memakai qiyas atau pendapat.”
Periksa: Tafsir Ibni Katsir (VI/33), cet. Darus Salam dan Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. Maktabah al-Ma’arif.
Apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dari Imam asy-Syafi’i itu merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga pendapatnya Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh az-Zubaidi dalam Syarah Ihya’ ‘Ulumuddin (X/369).
Lihat Ahkaamul Janaa-iz (hal. 220), cet. maktabah al-Ma’arif th. 1412 H.
Allah berfirman tentang al-Qur’-an:
“Artinya : Supaya ia (al-Qur-an) memberi peringatan kepada orang yang HIDUP…” [Yaasiin: 70]
Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci.” [Muhammad: 24]
Yang wajib juga diperhatikan oleh seorang Muslim adalah, tidak boleh beribadah di sisi kubur dengan melakukan shalat, berdo’a, menyembelih binatang, bernadzar atau membaca al-Qur-an dan ibadah lainnya. Tidak ada satupun keterangan yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya bahwa mereka melakukan ibadah di sisi kubur. Bahkan, ancaman yang keraslah bagi orang yang beribadah di sisi kubur orang yang shalih, apakah dia wali atau Nabi, terlebih lagi dia bukan seorang yang shalih.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras terhadap orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
áóÚóäó Çááøóåõ ÇáúíóåõæúÏó æóÇáäøóÕóÇÑóì ÇÊøóÎóÐõæúÇ ÞõÈõæúÑó ÃóäúÈöíóÇÆöåöãú ãóÓóÇÌöÏó.
“Artinya : Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani (karena) mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
Tidak ada satu pun kuburan di muka bumi ini yang mengandung keramat dan barakah, sehingga orang yang sengaja menuju kesana untuk mencari keramat dan ba-rakah, mereka telah jatuh dalam perbuatan bid’ah dan syirik. Dalam Islam, tidak dibenarkan sengaja mengada-kan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti, kuburan wali, kyai, habib dan lainnya dengan niat mencari keramat dan barakah dan mengadakan ibadah di sana. Hal ini dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah dan sarana yang menjurus kepada kesyirikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
áÇó ÊõÔóÏøõ ÇáÑöøÍóÇáõ ÅöáÇøó Åöáóì ËóáÇóËóÉö ãóÓóÇÌöÏó: ãóÓúÌöÏöíú åóÐóÇ¡ æóÇáúãóÓúÌöÏö ÇáúÍóÑóÇãö¡ æóÇáúãóÓúÌöÏö ÇúáÃóÞúÕóì.
“Artinya : Tidak boleh mengadakan safar (perjalanan dengan tuju-an beribadah) kecuali ketiga masjid, yaitu Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.”
Adapun adab ziarah kubur, kaum Muslimin dianjur-kan ziarah ke pemakaman kaum Muslimin dengan me-ngucapkan salam dan mendo’akan agar dosa-dosa mereka diampuni dan diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallaahu a’lam bish shawab.
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
MARAJI’
[1]. Al-Qur’anul Karim, serta terjemahannya.
[2]. Tafsir Ibni Katsir, cet. Daarus Salam, th. 1413 H.
[3]. Shahih al-Bukhary.
[4]. Shahih Muslim.
[5]. Sunan Abi Dawud.
[6]. Sunan an-Nasaa-i.
[7]. Sunan Ibni Majah.
[8]. Musnad Imam Ahmad.
[9]. Sunanul Kubra’, oleh al-Baihaqy.
[10]. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim.
[11]. Syu’abul Iman, oleh Imam al-Baihaqy.
[12]. Dha’if Jami’ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[13]. Misykatul Mashabih, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[14]. Al-Kamil fii Dhu’afaa-ir Rijal, oleh Imam Ibnu ‘Ady.
[15]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
[16]. Lisanul Mizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[17]. Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.
[18]. Iqtidha’ Shirathal Mustaqim, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[19]. Fat-hul Majiid Syarh Kitaabit Tauhiid, oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh.
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
BACAAN SURAT YASIN BUKAN UNTUK ORANG MATI
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 5, 2007
Halaman ke-1 dari 2
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
HADITS PERTAMA
ãóäú ÞóÑóÃó íóÓ Ýöíú áóíúáóÉò ÇÈúÊöÛóÇÁó æóÌúåö Çááåö ÛõÝöÑó áóåõ ãóÇ ÊóÞóÏøóãó ãöäú ÐóäúÈöåö ÝóÇÞúÑóÄõæúåóÇ ÚöäúÏó ãóæúÊóÇßõãú.
“Artinya : Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.”
[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]
Keterangan: HADITS INI (ÖóÚöíúÝñ) LEMAH
Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).
HADITS KEDUA
ãóäú ÒóÇÑó ÞóÈúÑó æóÇáöÏóíúåö ßõáøó ÌõãõÚóÉò ÝóÞóÑóÃó ÚöäúÏóåõãóÇ Ãóæú ÚöäúÏóåõ íóÓ ÛõÝöÑó áóåõ ÈöÚóÏóÏö ßõáøö ÂíóÉò Ãóæú ÍóÑúÝò.
“Artinya : Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.
Keterangan: HADITS INI (ãóæúÖõæúÚñ) PALSU
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/)91 dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.
Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).
Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yang BATHIL.”
Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits.”
Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).
Penjelasan Hadits-Hadits Di Atas.
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika berziarah ke pemakaman kaum Muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan bahwa semua hadits-hadits yang menganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang PALSU, sebagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah berbuat BID’AH. Dan telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerangkan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur’an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.
Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketika Ada Orang yang Sedang dalam Keadaan Naza’
Pertama
Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar ia (orang yang akan mati) mengucapkan “áÇóÅöáóåó ÅöáÇøó Çááøóåõ (Laa Ilaaha Illallah).”
Dalilnya:
Úóäú ÃóÈöíú ÓóÚöíúÏö ÇáúÎõÏúÑöíøö íóÞõæúáõ: ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó: áóÞøöäõæúÇ ãóæúÊóÇßõãú áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááøóåõ.
“Artinya : Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada orang yang hampir mati dari an-tara kalian.”
Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117), an-Nasa’i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445), al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ãóäú ßóÇäó ÂÎöÑõ ßóáÇóãöåö áÇóÅöáóåó ÅöáÇøó Çááøóåõ ÏóÎóáó ÇáúÌóäøóÉó.
“Artinya : Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.” [ Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.]
Kedua
Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepada mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.
Dalilnya:
Úóäú Ãõãøö ÓóáóãóÉó ÞóÇáóÊú: ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó: ÅöÐóÇ ÍóÖóÑúÊõãú ÇáúãóÑöíúÖó Ãóæö ÇáúãóíøöÊó ÝóÞõæúáõæúÇ: ÎóíúÑðÇ ÝóÅöäøó ÇáúãóáÇóÆößóÉó íõÄøãøöäõæúäó Úóáóì ãóÇ ÊóÞõæúáõæúäó.
“Artinya : Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’” [Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.]
SUNNAH-SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KETIKA BERZIARAH KE PEMAKAMAN KAUM MUSLIMIN
Pertama
Mengucapkan salam kepada mereka.
Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” Beliau men-jawab: “Katakanlah:
ÇáÓøóáÇóãõ Úóáóì Ãóåúáö ÇáÏøöíóÇÑö ãöäó ÇáúãõÄúãöäöíúäó æóÇáúãõÓúáöãöíúäó æóíóÑúÍóãõ Çááøóåõ ÇáúãõÓúÊóÞúÏöãöíúäó ãöäøóÇ æóÇáúãõÓúÊóÃúÎöÑöíúäó æóÅöäøóÇ Åöäú ÔóÇÁó Çááøóåõ Èößõãú áóáÇóÍöÞõæúäó.
“Artinya : Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”
[Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa'i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim]
Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:
ÇáÓøóáÇóãõ Úóáóíúßõãú Ãóåúáó ÇáÏøöíóÇÑö ãöäó ÇáúãõÄúãöäöíúäó æóÇáúãõÓúáöãöíúäó æóÅöäøóÇ Åöäú ÔóÇÁó Çááøóåõ Èößõãú áÇóÍöÞõæúäó äóÓúÃóáõ Çááøóåó áóäóÇ æóáóßõãõ ÇáúÚóÇÝöíóÉó.
“Artinya ; Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”
[Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah (no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah lafazh Ibnu Majah]
Kedua
Mendo’akan dan memohonkan ampunan bagi mereka.
Dalilnya:
Úóäú ÚóÇÆöÔóÉó Ãóäøó ÇáäøóÈöíøó Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ßóÇäó íóÎúÑõÌõ Åöáóì ÇáúÈóÞöíúÚö ÝóíóÏúÚõæú áóåõãú ÝóÓóÃóáóÊúåõ ÚóÇÆöÔóÉõ Úóäú Ðóáößó ÝóÞóÇáó: Åöäøöíú ÃõãöÑúÊõ Ãóäú ÃóÏúÚõæó áóåõãú.
“Artinya :Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”
[Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252)]
BACA AL-QUR’AN DI PEMAKAMAN MENYALAHI SUNNAH NABI SHALALLLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para Shahabatnya.
‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur’an disyari’atkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.
Menurut ilmu ushul fiqih:
ÊóÃúÎöíúÑõ ÇáúÈóíóÇäö Úóäú æóÞúÊö ÇáúÍóÇÌóÉö áÇó íóÌõæúÒõ.
“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”
Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur’an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang sah tentang masalah itu.
Membaca al-Qur’an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur’an di rumah:
Úóäú ÃóÈöíú åõÑóíúÑóÉó: Ãóäøó ÑóÓõæúáó Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÞóÇáó: áÇó ÊóÌúÚóáõæúÇ ÈõíõæúÊóßõãú ãóÞóÇÈöÑó¡ Åöäøó ÇáÔøóíúØóÇäó íóäúÝöÑõ ãöäó ÇáúÈóíúÊö ÇáøóÐöíú ÊõÞúÑóÃõ Ýöíúåö ÓõæúÑóÉõ ÇáúÈóÞóÑóÉö .
ÑæÇå ãÓáã ÑÞã : (780) æÃÍãÏ æÇáÊøÑãíÐí æÕÍÍå
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.” [Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahihkannya]
Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur’an, melainkan tempatnya di rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, yang jelas tidak ada bacaan al-Qur’an dan shalat-shalat sunnat di pema-kaman.
Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur’an di pemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:
Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”
Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (hal. 380), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 191-192).
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
HADITS PERTAMA
ãóäú ÞóÑóÃó íóÓ Ýöíú áóíúáóÉò ÇÈúÊöÛóÇÁó æóÌúåö Çááåö ÛõÝöÑó áóåõ ãóÇ ÊóÞóÏøóãó ãöäú ÐóäúÈöåö ÝóÇÞúÑóÄõæúåóÇ ÚöäúÏó ãóæúÊóÇßõãú.
“Artinya : Barangsiapa membaca surat Yaasiin karena mencari keridhaan Allah Ta’ala, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Oleh karena itu, bacakan-lah surat itu untuk orang yang akan mati di antara kalian.”
[HR. Al-Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman]
Keterangan: HADITS INI (ÖóÚöíúÝñ) LEMAH
Lihat Dha’if Jami’ush Shaghir (no. 5785) dan Misykatul Mashaabih (no. 2178).
HADITS KEDUA
ãóäú ÒóÇÑó ÞóÈúÑó æóÇáöÏóíúåö ßõáøó ÌõãõÚóÉò ÝóÞóÑóÃó ÚöäúÏóåõãóÇ Ãóæú ÚöäúÏóåõ íóÓ ÛõÝöÑó áóåõ ÈöÚóÏóÏö ßõáøö ÂíóÉò Ãóæú ÍóÑúÝò.
“Artinya : Barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)nya sebanyak ayat atau huruf yang dibacanya.
Keterangan: HADITS INI (ãóæúÖõæúÚñ) PALSU
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy (I/286), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan (II/344-345) dan ‘Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Sunannya (II/)91 dari jalan Abu Mas’ud Yazid bin Khalid. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thaifi, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar secara marfu’.
Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 50).
Dalam hadits ini ada ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan ats-Tsaubani. Kata Ibnu ‘Adiy: “Ia sering mencuri hadits dan menyampaikan hadits-hadits yang BATHIL.”
Setelah membawakan hadits ini, Ibnu ‘Adiy berkata: “Sanad hadits ini BATHIL, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits.”
Kata Imam Daruquthni: “Ia sering memalsukan hadits.”
Periksa: Mizaanul I’tidal (III/260-261 no. 6371), Lisanul Mizan (IV/364-365).
Penjelasan Hadits-Hadits Di Atas.
Hadits-hadits di atas sering dijadikan pegangan pokok tentang dianjurkannya membaca surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang naza’ (sakaratul maut) dan ketika berziarah ke pemakaman kaum Muslimin terutama ketika menziarahi kedua orangtua. Bahkan sebagian besar kaum Muslimin menganggap hal itu ‘Sunnah’? Maka sekali lagi saya jelaskan bahwa semua hadits-hadits yang menganjurkan itu LEMAH, bahkan ada yang PALSU, sebagaimana yang sudah saya terangkan di atas dan hadits-hadits lemah tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu, orang yang melakukan demikian adalah berarti dia telah berbuat BID’AH. Dan telah menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sah yang menerangkan apa yang harus dilakukan ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan ketika berziarah ke kubur.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Membacakan surat Yaasiin ketika ada orang yang sedang dalam keadaan naza’ dan membaca al-Qur’an (membaca surat Yaasiin atau surat-surat lainnya) ketika berziarah ke kubur adalah BID’AH DAN TIDAK ADA ASALNYA SAMA SEKALI DARI SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM YANG SAH.
Lihat Ahkamul Janaa-iz wa Bida’uha (hal. 20, 241, 307 & 325), cet. Maktabah al-Ma’arif.)
Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketika Ada Orang yang Sedang dalam Keadaan Naza’
Pertama
Di-talqin-kan (diajarkan) dengan ‘Laa Ilaaha Illallah’ agar ia (orang yang akan mati) mengucapkan “áÇóÅöáóåó ÅöáÇøó Çááøóåõ (Laa Ilaaha Illallah).”
Dalilnya:
Úóäú ÃóÈöíú ÓóÚöíúÏö ÇáúÎõÏúÑöíøö íóÞõæúáõ: ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó: áóÞøöäõæúÇ ãóæúÊóÇßõãú áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááøóåõ.
“Artinya : Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ajarkanlah ‘Laa Ilaaha Illallah’ kepada orang yang hampir mati dari an-tara kalian.”
Hadits SHAHIH, riwayat Muslim (no. 916), Abu Dawud (no. 3117), an-Nasa’i (IV/5), at-Tirmidzi (no. 976), Ibnu Majah (no. 1445), al-Baihaqi (III/383) dan Ahmad (III/3).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kalimat Tauhid ini yang terakhir diucapkan, supaya dengan demikian dapat masuk Surga.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ãóäú ßóÇäó ÂÎöÑõ ßóáÇóãöåö áÇóÅöáóåó ÅöáÇøó Çááøóåõ ÏóÎóáó ÇáúÌóäøóÉó.
“Artinya : Barangsiapa yang akhir perkataannya ‘Laa Ilaaha Illallah,’ maka ia akan masuk Surga.” [ Hadits riwayat Ahmad (V/233, 247), Abu Dawud (no. 3116) dan al-Hakim (I/351), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu.]
Kedua
Hendaklah mendo’akan kebaikan untuknya dan kepada mereka yang hadir pada saat itu. Hendaknya mereka berkata yang baik.
Dalilnya:
Úóäú Ãõãøö ÓóáóãóÉó ÞóÇáóÊú: ÞóÇáó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó: ÅöÐóÇ ÍóÖóÑúÊõãú ÇáúãóÑöíúÖó Ãóæö ÇáúãóíøöÊó ÝóÞõæúáõæúÇ: ÎóíúÑðÇ ÝóÅöäøó ÇáúãóáÇóÆößóÉó íõÄøãøöäõæúäó Úóáóì ãóÇ ÊóÞõæúáõæúäó.
“Artinya : Dari Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Apabila kalian menjenguk orang sakit atau berada di sisi orang yang hampir mati, maka katakanlah yang baik! Karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan (do’a) yang kalian ucapkan.’” [Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no. 919) dan al-Baihaqi (III/384) dan selain keduanya.]
SUNNAH-SUNNAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM KETIKA BERZIARAH KE PEMAKAMAN KAUM MUSLIMIN
Pertama
Mengucapkan salam kepada mereka.
Dalilnya ialah:
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah apakah yang harus aku ucapkan kepada mereka (kaum Muslimin, bila aku menziarahi mereka)?” Beliau men-jawab: “Katakanlah:
ÇáÓøóáÇóãõ Úóáóì Ãóåúáö ÇáÏøöíóÇÑö ãöäó ÇáúãõÄúãöäöíúäó æóÇáúãõÓúáöãöíúäó æóíóÑúÍóãõ Çááøóåõ ÇáúãõÓúÊóÞúÏöãöíúäó ãöäøóÇ æóÇáúãõÓúÊóÃúÎöÑöíúäó æóÅöäøóÇ Åöäú ÔóÇÁó Çááøóåõ Èößõãú áóáÇóÍöÞõæúäó.
“Artinya : Semoga dicurahkan kesejahteraan atas kalian wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada orang yang telah mendahului kami dan kepada orang yang masih hidup dari antara kami dan insya Allah kami akan menyu-sul kalian.’”
[Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/221), Muslim (no. 974) dan an-Nasa'i (IV/93), dan lafazh ini milik Muslim]
Buraidah berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para Shahabat) apabila mereka memasuki pemakaman (kaum Muslimin) hendaknya mengucapkan:
ÇáÓøóáÇóãõ Úóáóíúßõãú Ãóåúáó ÇáÏøöíóÇÑö ãöäó ÇáúãõÄúãöäöíúäó æóÇáúãõÓúáöãöíúäó æóÅöäøóÇ Åöäú ÔóÇÁó Çááøóåõ Èößõãú áÇóÍöÞõæúäó äóÓúÃóáõ Çááøóåó áóäóÇ æóáóßõãõ ÇáúÚóÇÝöíóÉó.
“Artinya ; Mudah-mudahan dicurahkan kesejahteraan atas kalian, wahai ahli kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian. Kami mohon kepada Allah agar mengampuni kami dan kalian.’”
[Hadits SHAHIH riwayat Muslim (no.975), an-Nasa-i (IV/94), Ibnu Majah (no. 1547), Ahmad (V/353, 359 & 360). Lafazh hadits ini adalah lafazh Ibnu Majah]
Kedua
Mendo’akan dan memohonkan ampunan bagi mereka.
Dalilnya:
Úóäú ÚóÇÆöÔóÉó Ãóäøó ÇáäøóÈöíøó Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ßóÇäó íóÎúÑõÌõ Åöáóì ÇáúÈóÞöíúÚö ÝóíóÏúÚõæú áóåõãú ÝóÓóÃóáóÊúåõ ÚóÇÆöÔóÉõ Úóäú Ðóáößó ÝóÞóÇáó: Åöäøöíú ÃõãöÑúÊõ Ãóäú ÃóÏúÚõæó áóåõãú.
“Artinya :Aisyah berkata: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke Baqi’ (tempat pemakaman kaum Muslimin), lalu beliau mendo’akan mereka.” Kemudian ‘Aisyah bertanya tentang hal itu, beliau menjawab: “Se-sungguhnya aku diperintah untuk mendo’akan mereka.”
[Hadits SHAHIH riwayat Ahmad (VI/252)]
BACA AL-QUR’AN DI PEMAKAMAN MENYALAHI SUNNAH NABI SHALALLLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Hadits-hadits yang saya sebutkan di atas tentang Adab Ziarah, menunjukkan bahwa baca al-Qur-an di pemakaman tidak disyari’atkan oleh Islam. Karena seandainya disya-ri’atkan, niscaya sudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pasti sudah mengajarkannya kepada para Shahabatnya.
‘Aisyah ketika bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang harus diucapkan (dibaca) ketika ziarah kubur? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajar-kan salam dan do’a. Beliau tidak mengajarkan baca al-Fatihah, baca Yaasiin, baca surat al-Ikhlash dan lainnya. Seandainya baca al-Qur’an disyari’atkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya.
Menurut ilmu ushul fiqih:
ÊóÃúÎöíúÑõ ÇáúÈóíóÇäö Úóäú æóÞúÊö ÇáúÍóÇÌóÉö áÇó íóÌõæúÒõ.
“Menunda keterangan pada waktu keterangan itu dibu-tuhkan tidak boleh.”
Kita yakin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menyembunyikan ilmu dan tidak pernah pula beliau mengajarkan baca al-Qur’an di pemakaman. Lagi pula tidak ada satu hadits pun yang sah tentang masalah itu.
Membaca al-Qur’an di pemakaman menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita membaca al-Qur’an di rumah:
Úóäú ÃóÈöíú åõÑóíúÑóÉó: Ãóäøó ÑóÓõæúáó Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÞóÇáó: áÇó ÊóÌúÚóáõæúÇ ÈõíõæúÊóßõãú ãóÞóÇÈöÑó¡ Åöäøó ÇáÔøóíúØóÇäó íóäúÝöÑõ ãöäó ÇáúÈóíúÊö ÇáøóÐöíú ÊõÞúÑóÃõ Ýöíúåö ÓõæúÑóÉõ ÇáúÈóÞóÑóÉö .
ÑæÇå ãÓáã ÑÞã : (780) æÃÍãÏ æÇáÊøÑãíÐí æÕÍÍå
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah.” [Hadits riwayat Muslim (no. 780), Ahmad (II/284, 337, 387, 388) dan at-Tirmidzi (no. 2877) serta ia menshahihkannya]
Hadits ini jelas sekali menerangkan bahwa pemakaman menurut syari’at Islam bukanlah tempat untuk membaca al-Qur’an, melainkan tempatnya di rumah, dan melarang keras menjadikan rumah seperti kuburan, yang jelas tidak ada bacaan al-Qur’an dan shalat-shalat sunnat di pema-kaman.
Jumhur ulama Salaf seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam-imam yang lainnya melarang membaca al-Qur’an di pemakaman, dan inilah nukilan pendapat mereka:
Pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud berkata dalam kitab Masaa-il Imam Ahmad hal. 158: “Aku mende-ngar Imam Ahmad ketika beliau ditanya tentang baca al-Qur-an di pemakaman? Beliau menjawab: “Tidak boleh.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dari asy-Syafi’i sendiri tidak terdapat perkataan tentang masalah ini, yang demikian ini menunjukkan bahwa (baca al-Qur-an di pemakaman) menurut beliau adalah BID’AH. Imam Malik berkata: ‘Tidak aku dapati seorang pun dari Sha-habat dan Tabi’in yang melakukan hal itu!’”
Lihat Iqtidhaa’ Shirathal Mustaqim (hal. 380), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 191-192).
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
HUKUM MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK MAYIT BERSAMA IMAM ASY-SYAFI’IY
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 4, 2007
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.
“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]
Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas.
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum : Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya [1]. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran)” [2]
Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna” [Dari Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah]
Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan perbuatan para shahabat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf. Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.
Adapaun yang menyalahi Al-Kitab ialah.
[1]. Bahwa Al-Qur’an bacaan untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Agar supaya Al-Qur’an itu menjadi peringatan bagi orang-orang yang hidup” [Yasin : 70]
[2]. Al-Qur’an itu hidayah/petunjuk bagi manusia
[3]. Al-Qur’an juga memberikan penjelasan dari petunjuk tersebut yang merupakan dalil dan hujjah.
[4]. Al-Qur’an juga sebagai Al-Furqan pembela antara yang hak dengan yang batil
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Bulan ramadlan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan baiyinaat (penjelasan-penjelasan yang merupakan dalil-dalil dan hujjah yang terang) dari petunjuk tersebut dan sebagai Al-Furqan” [Al-Baqarah : 185]
[5]. Di dalam Al-Qur’an penuh dengan larangan dan perintah. Dan lain-lain masih banyak lagi yang semuanya itu menjelaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati. Mungkinkah orang-orang yang telah mati itu dapat mengambil hidayah Al-Qur’an, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan lain-lain?.
Adapun sunnah terlalu banyak haditsnya yang tidak memungkinkan bagi saya menurunkan satu persatu kecuali satu hadits di bawah ini.
“Artinya : Dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu itu sebagai kuburan. Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah” [Hadits Shahih riwayat Muslim 2/188]
Hadits ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita di antaranya.
[1]. Rumah yang tidak dikerjakan ibadah di dalamnya seperti shalat sunat dan tilawah (membaca) Al-Qur’an, Nabi samakan dengan kuburan.
[2]. Mafhumnya (yang dapat dipahami) bahwa kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya…?
[3]. Sekali lagi kita memahami dari sunnah nabawiah bahwa Qur’an bukanlah bacaan untuk orang-orang yang telah mati. Kalau Qur’an itu boleh dibacakan untuk orang-orang yang telah mati tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyamakan rumah yang di dalamnya tidak dibacakan Qur’an dengan kuburan! Dan tentulah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kamu seperti kuburan!!!”.
Sungguh benar apa yang telah dikatakan Ibnu Katsir : “Tidak dinukil dari seorangpun shahabat bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati. Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya (Laukana khairan lasabakuna ilaihi)”.
Saya berkata : “Inilah rahasia yang besar dan hikmah yang dalam bahwa tidak ada seorangpun shahabat yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masalah membacakan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati dan menghadiahkan pahala bacaannya hatta untuk orang tua mereka sendiri. Di mana mereka bertanya tentang sedekah, puasa nadzar dan haji untuk orang tua mereka yang telah wafat. Kenapa mereka tidak bertanya tentang Qur’an atau shalat atau dzikir atau mengirim Al-Fatihah untuk orang tua mereka yang telah wafat?
Jawabnya, kita perlu mengetahui kaidah besar tentang para shahabat. Bahwa para shahabat adalah aslam (yang paling taslim atau menyerah kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya) dan a’lam (yang paling mengetahui tentang agama Islam) dan ahkam (yang paling mengetahui tentang hukum dan paling tepat hukumnya). Oleh karena itu mereka sangat mengetahui bahwa bacaan Qur’an bukan untuk orang-orang yang telah mati akan tetapi bacaan untuk orang yang hidup.
KESIMPULAN
[1]. Bahwa Al-Qur’an untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang telah mati.
[2]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ijma’ para shahabat. Dengan demikian perbuatan tersebut tidak ragu lagi adalah BID’AH MUNKAR. Karena amalan tersebut tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada zaman shahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya hatta dengan isyarat. Dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya sedikit pun juga..
[3]. Menurut Imam Syafi’iy bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang telah mati.
[4]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati menghilangkan sebagian dari maksud diturunkannya Al-Qur’an.
[5]. Kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya.
[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
__________
Foote Note
[1]. Peganglah kuat-kuat kaidah yang besar ini! Bahwa setiap amal kalau itu baik dan masuk ke dalam ajaran Islam tentulah diamalakan lebih dahulu oleh para shahabat. Mafhumnya, kalau ada sesuatu amal yang diamalkan oleh sebagian kaum muslimin akan tetapi para shahabat tidak pernah mengamalkannya, maka amal tersebut jelas tidak baik dan bukan dari Islam.
[2]. Di dalam kaidah ushul yang telah disepakati “apabila nash (dalil) telah datang batallah segala ra’yu/pikiran
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Firman Allah Jalla wa ‘Alaa.
“Artinya : Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh (kebaikan) kecuali apa yang telah ia usahakan” [An-Najm : 38-39]
Berkata Al-Hafidz Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat di atas.
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain demikian juga seorang tidak akan memperoleh ganjaran (pahala) kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Dan dari ayat yang mulia ini Al-Imam Asy-Syafi’iy bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan hukum : Bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada). Dan tidak pernah dinukil dari seorangpun shahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati). Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentu para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya [1]. Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran)” [2]
Telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Tidak menjadi kebiasaan salaf, apabila mereka shalat sunnat atau puasa sunnat atau haji sunnat atau mereka membaca Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling (menyalahi) perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna” [Dari Kitab Al-Ikhtiyaaraat Ilmiyyah]
Keterangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa bacaan Al-Qur’an bukan untuk orang yang telah mati akan tetapi untuk orang yang hidup. Membaca Qur’an untuk orang yang telah mati hatta untuk orang tua dan menghadiahkan pahala bacaan tersebut kepada mereka, adalah perbuatan yang sama sekali tidak berdalil bahkan menyalahi Al-Qur’an sendiri dan Sunnah dan perbuatan para shahabat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir yang mengambil dari Al-Imam Asy-Syafi’iy yang dengan tegas mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang yang telah mati. Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak pernah diamalkan oleh kaum salaf. Dari sini kita mengetahui, bahwa membaca Qur’an untuk orang yang telah mati tidak pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau ada, tentulah para shahabat yang pertama mengamalkannya sebelum orang lain. Kemudian amalan itu akan dinukil oleh tabi’in dan tabi’ut tabi’in termasuk Syafi’iy di dalamnya yang beritanya akan mencapai derajat mutawatir atau sekurang-kurangnya masyhur. Kenyataan yang ada sebaliknya, mereka sama sekali tidak pernah mengamalkannya sedikitpun.
Adapaun yang menyalahi Al-Kitab ialah.
[1]. Bahwa Al-Qur’an bacaan untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Agar supaya Al-Qur’an itu menjadi peringatan bagi orang-orang yang hidup” [Yasin : 70]
[2]. Al-Qur’an itu hidayah/petunjuk bagi manusia
[3]. Al-Qur’an juga memberikan penjelasan dari petunjuk tersebut yang merupakan dalil dan hujjah.
[4]. Al-Qur’an juga sebagai Al-Furqan pembela antara yang hak dengan yang batil
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Bulan ramadlan yang diturunkan di dalamnya Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan baiyinaat (penjelasan-penjelasan yang merupakan dalil-dalil dan hujjah yang terang) dari petunjuk tersebut dan sebagai Al-Furqan” [Al-Baqarah : 185]
[5]. Di dalam Al-Qur’an penuh dengan larangan dan perintah. Dan lain-lain masih banyak lagi yang semuanya itu menjelaskan kepada kita bahwa Al-Qur’an adalah untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang mati. Mungkinkah orang-orang yang telah mati itu dapat mengambil hidayah Al-Qur’an, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan lain-lain?.
Adapun sunnah terlalu banyak haditsnya yang tidak memungkinkan bagi saya menurunkan satu persatu kecuali satu hadits di bawah ini.
“Artinya : Dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kamu jadikan rumah-rumah kamu itu sebagai kuburan. Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah” [Hadits Shahih riwayat Muslim 2/188]
Hadits ini memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita di antaranya.
[1]. Rumah yang tidak dikerjakan ibadah di dalamnya seperti shalat sunat dan tilawah (membaca) Al-Qur’an, Nabi samakan dengan kuburan.
[2]. Mafhumnya (yang dapat dipahami) bahwa kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya…?
[3]. Sekali lagi kita memahami dari sunnah nabawiah bahwa Qur’an bukanlah bacaan untuk orang-orang yang telah mati. Kalau Qur’an itu boleh dibacakan untuk orang-orang yang telah mati tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyamakan rumah yang di dalamnya tidak dibacakan Qur’an dengan kuburan! Dan tentulah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kamu seperti kuburan!!!”.
Sungguh benar apa yang telah dikatakan Ibnu Katsir : “Tidak dinukil dari seorangpun shahabat bahwa mereka pernah mengirim bacaan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati. Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para shahabat telah mendahului kita mengamalkannya (Laukana khairan lasabakuna ilaihi)”.
Saya berkata : “Inilah rahasia yang besar dan hikmah yang dalam bahwa tidak ada seorangpun shahabat yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masalah membacakan Qur’an kepada orang-orang yang telah mati dan menghadiahkan pahala bacaannya hatta untuk orang tua mereka sendiri. Di mana mereka bertanya tentang sedekah, puasa nadzar dan haji untuk orang tua mereka yang telah wafat. Kenapa mereka tidak bertanya tentang Qur’an atau shalat atau dzikir atau mengirim Al-Fatihah untuk orang tua mereka yang telah wafat?
Jawabnya, kita perlu mengetahui kaidah besar tentang para shahabat. Bahwa para shahabat adalah aslam (yang paling taslim atau menyerah kepada keputusan Allah dan Rasul-Nya) dan a’lam (yang paling mengetahui tentang agama Islam) dan ahkam (yang paling mengetahui tentang hukum dan paling tepat hukumnya). Oleh karena itu mereka sangat mengetahui bahwa bacaan Qur’an bukan untuk orang-orang yang telah mati akan tetapi bacaan untuk orang yang hidup.
KESIMPULAN
[1]. Bahwa Al-Qur’an untuk orang yang hidup bukan untuk orang yang telah mati.
[2]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit bertentangan dengan Al-Qur’an sendiri dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ijma’ para shahabat. Dengan demikian perbuatan tersebut tidak ragu lagi adalah BID’AH MUNKAR. Karena amalan tersebut tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun pada zaman shahabat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya hatta dengan isyarat. Dan para shahabat tidak pernah mengamalkannya sedikit pun juga..
[3]. Menurut Imam Syafi’iy bacaan Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang telah mati.
[4]. Membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah mati menghilangkan sebagian dari maksud diturunkannya Al-Qur’an.
[5]. Kuburan bukan tempat membaca Al-Qur’an apalagi menamatkannya.
[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
__________
Foote Note
[1]. Peganglah kuat-kuat kaidah yang besar ini! Bahwa setiap amal kalau itu baik dan masuk ke dalam ajaran Islam tentulah diamalakan lebih dahulu oleh para shahabat. Mafhumnya, kalau ada sesuatu amal yang diamalkan oleh sebagian kaum muslimin akan tetapi para shahabat tidak pernah mengamalkannya, maka amal tersebut jelas tidak baik dan bukan dari Islam.
[2]. Di dalam kaidah ushul yang telah disepakati “apabila nash (dalil) telah datang batallah segala ra’yu/pikiran
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG MENGUSAP MUKA DENGAN KEDUA TANGAN SESUDAH SELESAI BE
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 4, 2007
KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG MENGUSAP MUKA DENGAN KEDUA TANGAN SESUDAH SELESAI BEDO’A
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila mereka telah selesai berdo’a, mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangan.. Mereka yang mengerjakan demikian, ada yang sudah mengetahui dalilnya akan tetapi mereka tidak mengetahui derajat dalil itu, apakah sah datangnya dari Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena turut-turut (taklid) saja. Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya : “Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo’a dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ..? Maka saya jawab ; “Tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, akan tetapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa’at bagi saudara-saudaraku
Hadits Pertama
“Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo’a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo’a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo’a dengan kedua punggung (telapak tangan). Apabila engkau telah selesai berdo’a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu”. [Riwayat Ibnu Majah No. Hadits 181 dab 3866]
Hadits ini derajatnya sangatlah lemah/dla’if. Karena di sanadnya ada seorang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Tentang dia ini telah sepakat ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :
[1]. Kata Imam Bukhari, “Munkarul hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya)”.
[2]. Kata Imam Abu Hatim, “Munkarul hadits, dla’if.”
[3]. Kata Imam Ahmad bin Hambal, “Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah)”.
[4]. Kata Imam Nasa’I, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”
[5]. Kata Imam Ibnu Ma’in, Dia itu dla’if.
[6]. Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid 2 halaman 291, 292]
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, akan tetapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi mubham). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : “Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini dari Muhammad bin Ka’ab al-Quradzy (akan tetapi) semuanya lemah. Dan ini jalan yang semisalnya, dan dia ini (hadits Ibnu Abbas) juga lemah”.
[Baca Sunan Abi Dawud No. hadits 1485]
Hadits Kedua
Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :
“Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau berdo’a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya”. [Riwayat : Imam Abu Dawud No. hadits 1492]
Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :
[1]. IBNU LAHI’AH, Dia ini seorang rawi yang lemah[1]
[2]. HAFSH BIN HASYIM BIN ‘UTBAH BIN ABI WAQQASH, Dia ini rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul). [Baca : Mizanul 'Itidal jilid I halaman. 569].
Hadits Ketiga
Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :
“Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo’a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya”. [Riwayat : Imam Tirmidzi]
Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.
[1]. Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
[2]. Imam Al-Hakim dan Nasa’i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo’a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo’a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo’anya”.
[Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 halaman 519].
Saya berkata : Perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, sangat benar dan tepat sekali. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Di bawah ini saya sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :
[1]. Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[2]. Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[3]. Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.
[4]. Oleh Abu Musa Al-Asy’ariy (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
[5]. Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
[6]. Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).
[7]. Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
[8]. Oleh Sa’ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).
Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan fi’il (perbuatan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan qaul (perkataan/sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada diriwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Apabila kamu meminta (berdo’a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-Nya dengan punggung (tangan)”. [Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486]
Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) :
“Artinya : Permintaan (do’a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu”. [Riwayat Abu Dawud No. 1486]
Kata Ibnu Abbas (Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) :
“Artinya : Permintaan (do’a) itu yaitu engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu” [Riwayat Abu Dawud No. 1489]
Adapun tentang tambahan “mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo’a” telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.
Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo’a.
“Artinya ari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu’minim sebagaimana Ia telah perintahkan para Rasul, Ia telah berfirman : “Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui “. (Surat Al-Mu’minun : 51). Dan Ia telah berfirman (pula) : “Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami telah rizkikan kepada kamu”. (Surat Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo’a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya) : “Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do’a) nya itu”.[Shahih Riwayat Muslim 3/85]
Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo’a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo’a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do’anya karena : Makanannya, minumannya, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram[2]
KESIMPULAN
[1]. Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo’a. Semua hadits-haditsnya sangat dla’if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya.
[2]. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID’AH.
[3]. Berdo’a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunat dengan mengambil fi’il dan qaul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah sah.
[4]. Ada lagi kebiasaan bid’ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.[3]
[Disalin dari buku Al-Masas-il (Masalah-masalah agama) Jilid 1, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qlam, Jakarta, Cetakan III Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[1]. Apabila yang meriwayatkan dari Abdullah bin Lahi’ah bukan Abdullah bin Mubarak atau Abdullah bin Wahab atau Abdullah bin Yazid. Kalau salah satu dari tiga orang di atas meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi’ah, maka haditsnya Ibnu Lahi’ah shahih atau sekurang-kurangnya hasan. Sedangkan riwayat di atas tidak diriwayatkan oleh salah seorang yang saya terangkan di atas.
[2]. Diantara faedah dari hadits yang mulia ini ialah :
(1). Sunnat berdo’a dengan mengangkat kedua tangan.
(2). Bertawwassul di dalam berdo’a dengan nama dan sifat Allah seperti : Ya Rabbi, Ya Rabbi.
(3). Perintah makan dan minum dari zat yang halal dan dari hasil yang halal.
(4). Larangan makan dan minum dari zat yang haram seperti babi dan khamr dan dari hasil yang haram.
(5). Salah satu syarat diterimanya do’a ialah dengan makan dan minum yang halal.
(6). Salah satu dari sekian sebab tidak diterimanya do’a seseorang karena makanan dan minumannya dari yang haram atau diberi makan dari yang haram.
[3]. Ditulis tanggal 5-10-1985
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Sering kita melihat diantara saudara-saudara kita apabila mereka telah selesai berdo’a, mereka mengusap muka mereka dengan kedua telapak tangan.. Mereka yang mengerjakan demikian, ada yang sudah mengetahui dalilnya akan tetapi mereka tidak mengetahui derajat dalil itu, apakah sah datangnya dari Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam atau tidak .? Ada juga yang mengerjakan karena turut-turut (taklid) saja. Oleh karena itu jika ada orang bertanya kepada saya : “Adakah dalilnya tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo’a dan bagaimana derajatnya, sah atau tidak datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ..? Maka saya jawab ; “Tentang dalilnya ada beberapa riwayat yang sampai kepada kita, akan tetapi tidak satupun yang sah (shahih atau hasan) datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Untuk itu ikutilah pembahasan saya di bawah ini, mudah-mudahan banyak membawa manfa’at bagi saudara-saudaraku
Hadits Pertama
“Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata ; “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : Apabila engkau meminta (berdo’a) kepada Allah, maka hendaklah engkau berdo’a dengan kedua telapak tanganmu, dan janganlah engkau berdo’a dengan kedua punggung (telapak tangan). Apabila engkau telah selesai berdo’a, maka usaplah mukamu dengan kedua telapak tanganmu”. [Riwayat Ibnu Majah No. Hadits 181 dab 3866]
Hadits ini derajatnya sangatlah lemah/dla’if. Karena di sanadnya ada seorang (rawi) yang bernama SHALIH BIN HASSAN AN-NADLARY. Tentang dia ini telah sepakat ahli hadits melemahkannya sebagaimana tersebut di bawah ini :
[1]. Kata Imam Bukhari, “Munkarul hadits (orang yang diingkari hadits/riwayatnya)”.
[2]. Kata Imam Abu Hatim, “Munkarul hadits, dla’if.”
[3]. Kata Imam Ahmad bin Hambal, “Tidak ada apa-apanya (maksudnya : lemah)”.
[4]. Kata Imam Nasa’I, “Matruk (orang yang ditinggalkan haditsnya)”
[5]. Kata Imam Ibnu Ma’in, Dia itu dla’if.
[6]. Imam Abu Dawud telah pula melemahkannya.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid 2 halaman 291, 292]
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas, akan tetapi di sanadnya ada seorang rawi yang tidak disebut namanya (dalam istilah ilmu hadits disebut rawi mubham). sedang Imam Abu Dawud sendiri telah berkata : “Hadits inipun telah diriwayatkan selain dari jalan ini dari Muhammad bin Ka’ab al-Quradzy (akan tetapi) semuanya lemah. Dan ini jalan yang semisalnya, dan dia ini (hadits Ibnu Abbas) juga lemah”.
[Baca Sunan Abi Dawud No. hadits 1485]
Hadits Kedua
Telah diriwayatkan oleh Saa-ib bin Yazid dari bapaknya (Yazid) :
“Artinya : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila beliau berdo’a mengangkat kedua tangannya, (setelah selesai) beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya”. [Riwayat : Imam Abu Dawud No. hadits 1492]
Sanad hadits inipun sangat lemah, karena di sanadnya ada rawi-rawi :
[1]. IBNU LAHI’AH, Dia ini seorang rawi yang lemah[1]
[2]. HAFSH BIN HASYIM BIN ‘UTBAH BIN ABI WAQQASH, Dia ini rawi yang tidak diketahui/dikenal (majhul). [Baca : Mizanul 'Itidal jilid I halaman. 569].
Hadits Ketiga
Telah diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ia berkata :
“Artinya : Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila mengangkat kedua tangannya waktu berdo’a, beliau tidak turunkan kedua (tangannya) itu sehingga beliau mengusap mukanya lebih dahulu dengan kedua (telapak) tangannya”. [Riwayat : Imam Tirmidzi]
Hadits ini sangat lemah, karena disanadnya ada seorang rawi bernama HAMMAD BIN ISA AL-JUHANY.
[1]. Dia ini telah dilemahkan oleh Imam-imam : Abu Dawud, Abu Hatim dan Daruquthni.
[2]. Imam Al-Hakim dan Nasa’i telah berkata : Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij dan Ja’far Ash-Shadiq hadits-hadits palsu.
[Baca : Al-Mizanul 'Itidal jilid I hal. 598 dan Tahdzibut-Tahdzib jilid 3 halaman. 18-19]
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Adapun tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya di waktu berdo’a, maka sesungguhnya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih (lagi) banyak (jumlahnya). Sedangkan tentang beliau mengusap mukanya dengan kedua (telapak) tangannya (sesudah berdo’a), maka tidak ada padanya (hadits yang shahih lagi banyak), kecuali satu-dua hadits yang tidak dapat dijadikan hujjah (alasan tentang bolehnya mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo’anya”.
[Baca : Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 22 halaman 519].
Saya berkata : Perkataan Ibnu Taimiyah tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya telah datang padanya hadits-hadits yang shahih lagi banyak, sangat benar dan tepat sekali. Bahkan hadits-haditsnya dapat mencapai derajat mutawatir karena telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat. Di bawah ini saya sebutkan sahabat yang meriwayatkannya dan Imam yang mengeluarkan haditsnya :
[1]. Oleh Abu Humaid (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[2]. Oleh Abdullah bin Amr bin Ash (Riwayat Bukhari dan Muslim).
[3]. Oleh Anas bin Malik (Riwayat Bukhari) tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a di waktu perang Khaibar dengan mengangkat kedua tangannya.
[4]. Oleh Abu Musa Al-Asy’ariy (Riwayat Bukhari dan lain-lain).
[5]. Oleh Ibnu Umar (Riwayat Bukhari).
[6]. Oleh Aisyah (Riwayat Muslim).
[7]. Oleh Abu Hurairah (Riwayat Bukhari).
[8]. Oleh Sa’ad bin Abi Waqqash (Riwayat Abu Dawud).
Dan lain-lain lagi shahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya di berbagai tempat. Semua riwayat di atas (yaitu : tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a mengangkat kedua tangannya) adalah merupakan fi’il (perbuatan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang merupakan qaul (perkataan/sabda) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada diriwayatkan oleh Malik bin Yasar (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Apabila kamu meminta (berdo’a) kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan telapak tangan kamu, dan janganlah kamu meminta kepada-Nya dengan punggung (tangan)”. [Shahih Riwayat : Abu Dawud No. 1486]
Kata Ibnu Abbas (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) :
“Artinya : Permintaan (do’a) itu, yaitu : Engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu”. [Riwayat Abu Dawud No. 1486]
Kata Ibnu Abbas (Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) :
“Artinya : Permintaan (do’a) itu yaitu engkau mengangkat kedua tanganmu setentang dengan kedua pundakmu” [Riwayat Abu Dawud No. 1489]
Adapun tentang tambahan “mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah selesai berdo’a” telah kita ketahui, semua riwayatnya sangat lemah dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi yang sunahnya itu hanya mengangkat kedua telapak tangan waktu berdoa.
Adalagi diriwayatkan tentang mengangkat kedua tangan waktu berdo’a.
“Artinya ari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Allah itu baik, dan Ia tidak akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah perintahkan mu’minim sebagaimana Ia telah perintahkan para Rasul, Ia telah berfirman : “Wahai para Rasul !.. Makanlah dari yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih, sesungguhnya Aku dengan apa-apa yang kamu kerjakan maha mengetahui “. (Surat Al-Mu’minun : 51). Dan Ia telah berfirman (pula) : “Wahai orang-orang yang beriman !. Makanlah dari yang baik-baik apa-apa yang Kami telah rizkikan kepada kamu”. (Surat Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang mengadakan perjalanan jauh dengan rambut kusut masai dan berdebu. (orang tersebut) mengangkat kedua tangannya ke langit (berdo’a) : Ya Rabbi ! Ya Rabbi ! (Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya) : “Sedangkan makanannya haram dan minumannya haram dan pakaiannya haram dan diberi makan dengan yang haram, maka bagaimana dapat dikabulkan (do’a) nya itu”.[Shahih Riwayat Muslim 3/85]
Di hadits ini ada dalil tentang bolehnya mengangkat kedua tangan waktu berdo’a (hukumnya sunat). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menceritakan tentang seseorang yang berdo’a sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Orang tersebut tidak dikabulkan do’anya karena : Makanannya, minumannya, pakaiannya, dan diberi makan dari barang yang haram atau hasil yang haram[2]
KESIMPULAN
[1]. Tidak ada satupun hadits yang shahih tentang mengusap muka dengan kedua telapak tangan sesudah berdo’a. Semua hadits-haditsnya sangat dla’if dan tidak boleh dijadikan alasan tentang sunatnya.
[2]. Karena tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengamalkannya berarti BID’AH.
[3]. Berdo’a dengan mengangkat kedua tangan hukumnya sunat dengan mengambil fi’il dan qaul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah sah.
[4]. Ada lagi kebiasaan bid’ah yang dikerjakan oleh kebanyakan saudara-saudara kita yaitu : Mengusap muka dengan kedua telapak tangan atau satu telapak tangan sehabis salam dari shalat.[3]
[Disalin dari buku Al-Masas-il (Masalah-masalah agama) Jilid 1, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qlam, Jakarta, Cetakan III Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[1]. Apabila yang meriwayatkan dari Abdullah bin Lahi’ah bukan Abdullah bin Mubarak atau Abdullah bin Wahab atau Abdullah bin Yazid. Kalau salah satu dari tiga orang di atas meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi’ah, maka haditsnya Ibnu Lahi’ah shahih atau sekurang-kurangnya hasan. Sedangkan riwayat di atas tidak diriwayatkan oleh salah seorang yang saya terangkan di atas.
[2]. Diantara faedah dari hadits yang mulia ini ialah :
(1). Sunnat berdo’a dengan mengangkat kedua tangan.
(2). Bertawwassul di dalam berdo’a dengan nama dan sifat Allah seperti : Ya Rabbi, Ya Rabbi.
(3). Perintah makan dan minum dari zat yang halal dan dari hasil yang halal.
(4). Larangan makan dan minum dari zat yang haram seperti babi dan khamr dan dari hasil yang haram.
(5). Salah satu syarat diterimanya do’a ialah dengan makan dan minum yang halal.
(6). Salah satu dari sekian sebab tidak diterimanya do’a seseorang karena makanan dan minumannya dari yang haram atau diberi makan dari yang haram.
[3]. Ditulis tanggal 5-10-1985
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
Perayaan Hari Kelahiran Nabi [Maulid Nabi]
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 4, 2007
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi?
Jawaban
Pertama: Malam kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu pada malam kesembilan Rabi’ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.
Kedua: Dipandang dari segi syari’at, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya itu termasuk syari’at Allah, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dan telah menyampaikan kepada umatnya, dan seandainya beliau melakukannya dan menyampaikannya, tentulah syari’at ini akan terpelihara, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [Al-Hijr : 9].
Karena tidak demikian, maka diketahui bahwa perayaan itu bukan dari agama Allah, dan jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendekatkan diri kepadaNya dengan itu. Untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana mungkin kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala karena kita melaksanakan sesuatu dalam agamaNya yang tidak berasal dariNya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu” [Al-Ma'idah : 3]
Kami katakan: Perayaan ini, jika memang termasuk kesempurnaan agama, mestinya telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,.
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” [Al-Ma'idah :3]
Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk kesempurnaan agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menunjukkan kecintaan terhadap beliau serta membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya.
Mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk ibadah. Demikian juga kecenderungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari agama karena mengandung kecenderungan terhadap syari’atnya. Jadi, perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan RasulNya merupakan ibadah. Karena ini merupakan ibadah, sementara ibadah itu sama sekali tidak boleh dilakukan sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak berasal darinya, maka perayaan hari kelahiran ini bid’ah dan haram.
Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diakui syari’at, naluri dan akal, di mana para pelakunya mendendangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama daripada Allah. Na’udzu billah. Di antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelakunya, ketika dibacakan kisah kelahiran beliau, lalu bacaannya itu sampai pada kalimat ‘wulida al-musthafa’ mereka semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir di situ maka kami berdiri untuk memuliakannya. Sungguh ini suatu kebodohan. Kemudian dari itu, berdirinya mereka itu tidak termasuk adab, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak menyukai orang berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang paling mencintai dan memuliakan beliau, tidak per-nah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini khayalan-khalayan mereka seperti itu?
[Majalah Al-Mujahid, edisi 22, Syaikh Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin : Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi?
Jawaban
Pertama: Malam kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu pada malam kesembilan Rabi’ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.
Kedua: Dipandang dari segi syari’at, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya itu termasuk syari’at Allah, tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya dan telah menyampaikan kepada umatnya, dan seandainya beliau melakukannya dan menyampaikannya, tentulah syari’at ini akan terpelihara, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [Al-Hijr : 9].
Karena tidak demikian, maka diketahui bahwa perayaan itu bukan dari agama Allah, dan jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendekatkan diri kepadaNya dengan itu. Untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana mungkin kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala karena kita melaksanakan sesuatu dalam agamaNya yang tidak berasal dariNya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu” [Al-Ma'idah : 3]
Kami katakan: Perayaan ini, jika memang termasuk kesempurnaan agama, mestinya telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jika tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,.
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” [Al-Ma'idah :3]
Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk kesempurnaan agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menunjukkan kecintaan terhadap beliau serta membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya.
Mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk ibadah. Demikian juga kecenderungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk bagian dari agama karena mengandung kecenderungan terhadap syari’atnya. Jadi, perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan RasulNya merupakan ibadah. Karena ini merupakan ibadah, sementara ibadah itu sama sekali tidak boleh dilakukan sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak berasal darinya, maka perayaan hari kelahiran ini bid’ah dan haram.
Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diakui syari’at, naluri dan akal, di mana para pelakunya mendendangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama daripada Allah. Na’udzu billah. Di antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelakunya, ketika dibacakan kisah kelahiran beliau, lalu bacaannya itu sampai pada kalimat ‘wulida al-musthafa’ mereka semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir di situ maka kami berdiri untuk memuliakannya. Sungguh ini suatu kebodohan. Kemudian dari itu, berdirinya mereka itu tidak termasuk adab, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak menyukai orang berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang paling mencintai dan memuliakan beliau, tidak per-nah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini khayalan-khalayan mereka seperti itu?
[Majalah Al-Mujahid, edisi 22, Syaikh Ibnu Utsaimin]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN ) ADALAH BID’AH MUNKAR DENGAN IJMA’ PARA SHAHABAT DAN SELURUH ULAMA ISLAM
Ditulis oleh aburomadhon di/pada Desember 4, 2007
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
“Artinya : Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : ” Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.
Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim.
Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jama’ah para Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau atsar di atas dalam beberapa hal.
Pertama : Mereka ijma’ atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun Ulama -sepanjang yang diketahui penulis- wallahu a’lam yang mendloifkan hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad hadits ini –sebagaimana saya katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Kedua : Mereka ijma’ dalam menerima hadits atau atsar dari ijma’ para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya ijma’ para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang menyalahinya.
Ketiga : Mereka ijma’ dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma’kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama ” Selamatan Kematian atau Tahlilan”.
LUGHOTUL HADITS
[1]. Kunnaa na’uddu/Kunna naroo = Kami memandang/menganggap.
Maknanya : Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan termasuk dari bagian meratap.
Ini menunjukkan telah terjadi ijma’/kesepakatan para shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma’ para shahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah dengan kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya.
[2]. Al-ijtimaa’a ila ahlil mayyiti wa shon’atath-tho’ami = Berkumpul-kumpul di tempat atau di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka makan bersama-sama
[3]. Ba’da dafnihi = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari riwayat Imam Ahmad.
Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di rumah ahli mayit “sebelum dikubur”!?. Akan tetapi yang dimaksud ialah ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur.
[4]. Minan niyaahati = Termasuk dari meratapi mayit
Ini menunjukkan bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan” adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan ijma’ para sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan merapat adalah dosa besar.
SYARAH HADITS
Hadits ini atau atsar di atas memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi kepada kita bahwa : Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ (ini yang biasa terjadi) termasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ahnya apabila di situ diadakan upacara yang biasa kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan pada hari pertama dan seterusnya”.
Hukum diatas berdasarkan ijma’ para shahabat yang telah memasukkan perbuatan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram (dosa) bahkan dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyyah.
FATWA PARA ULAMA ISLAM DAN IJMA’ MEREKA DALAM MASALAH INI
Apabil para shahabat telah ijma’ tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para sahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah.
Oleh karena itu, agar supaya para pembaca yang terhormat mengetahui atas dasar ilmu dan hujjah yang kuat, maka di bawah ini saya turunkan sejumlah fatwa para Ulama Islam dan Ijma’ mereka dalam masalah “selamatan kematian”.
[1]. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).
“Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”[1]
Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”
[2]. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :
“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah.
Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !”
[3]. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :
“Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.
Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta’ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.
Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)……..
Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ” Bid’ah.”
Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita).
Kita memohon kepada Allah keselamatan !”
[4]. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).
[5]. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : “Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah ” Bid’ah “.
Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306]
[6]. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ” Bid’ah Yang Jelek”. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih.
[7]. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[8]. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.
[9]. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”.
[10]. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : ” Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139]
[11]. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]
[12]. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’i ( I/79), ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.”
KESIMPULAN.
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat.
Kedua : Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.
Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.
Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat.
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian).” [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]
Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas).
Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)…. “ [Al-Um I/317]
Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas.
[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
__________
Foote Note
[1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’i menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’i diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
[2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Tentu tidak! copyleft almanhaj.or.id
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
“Artinya : Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : ” Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.
Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim.
Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jama’ah para Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau atsar di atas dalam beberapa hal.
Pertama : Mereka ijma’ atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun Ulama -sepanjang yang diketahui penulis- wallahu a’lam yang mendloifkan hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad hadits ini –sebagaimana saya katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Kedua : Mereka ijma’ dalam menerima hadits atau atsar dari ijma’ para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya ijma’ para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang menyalahinya.
Ketiga : Mereka ijma’ dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma’kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama ” Selamatan Kematian atau Tahlilan”.
LUGHOTUL HADITS
[1]. Kunnaa na’uddu/Kunna naroo = Kami memandang/menganggap.
Maknanya : Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan termasuk dari bagian meratap.
Ini menunjukkan telah terjadi ijma’/kesepakatan para shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma’ para shahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah dengan kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya.
[2]. Al-ijtimaa’a ila ahlil mayyiti wa shon’atath-tho’ami = Berkumpul-kumpul di tempat atau di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka makan bersama-sama
[3]. Ba’da dafnihi = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari riwayat Imam Ahmad.
Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di rumah ahli mayit “sebelum dikubur”!?. Akan tetapi yang dimaksud ialah ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur.
[4]. Minan niyaahati = Termasuk dari meratapi mayit
Ini menunjukkan bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan” adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan ijma’ para sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan merapat adalah dosa besar.
SYARAH HADITS
Hadits ini atau atsar di atas memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi kepada kita bahwa : Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ (ini yang biasa terjadi) termasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ahnya apabila di situ diadakan upacara yang biasa kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan pada hari pertama dan seterusnya”.
Hukum diatas berdasarkan ijma’ para shahabat yang telah memasukkan perbuatan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram (dosa) bahkan dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyyah.
FATWA PARA ULAMA ISLAM DAN IJMA’ MEREKA DALAM MASALAH INI
Apabil para shahabat telah ijma’ tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para sahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah.
Oleh karena itu, agar supaya para pembaca yang terhormat mengetahui atas dasar ilmu dan hujjah yang kuat, maka di bawah ini saya turunkan sejumlah fatwa para Ulama Islam dan Ijma’ mereka dalam masalah “selamatan kematian”.
[1]. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).
“Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”[1]
Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”
[2]. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :
“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah.
Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !”
[3]. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :
“Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.
Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta’ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.
Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)……..
Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ” Bid’ah.”
Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita).
Kita memohon kepada Allah keselamatan !”
[4]. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).
[5]. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : “Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah ” Bid’ah “.
Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306]
[6]. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ” Bid’ah Yang Jelek”. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih.
[7]. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[8]. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.
[9]. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”.
[10]. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : ” Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139]
[11]. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]
[12]. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’i ( I/79), ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.”
KESIMPULAN.
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat.
Kedua : Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.
Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.
Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat.
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian).” [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]
Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas).
Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi)…. “ [Al-Um I/317]
Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas.
[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
__________
Foote Note
[1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’i menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’i diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
[2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Tentu tidak! copyleft almanhaj.or.id
Ditulis dalam Bid'ah | Tinggalkan sebuah komentar »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar